Pemerintah harus membuka diri terhadap opsi pemberhentian penyelenggaraan ujian nasional (UN).
Hal itu diungkapkan anggota Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Rohmani, setelah mendapat masukan dari konstituen di Daerah Pemilihan (Dapil) Jawa Tengah IX (Brebes dan Tegal).
"Dorongan untuk menolak UN sebagai penentu kelulusan cukup besar. Bukan hanya dari masyarakat biasa. Kaum intelektual dan pakar pendidikan pun banyak yang menilai UN tidak memberikan kontribusi terhadap perbaikan pendidikan nasional," katanya dalam surat elektroniknya, Selasa (13/12/2011) siang.
Rohmani mengajak pemerintah membuka diri terhadap masukan menghentikan UN karena berbagai alasan yang memang logis dan sudah terbukti di lapangan. Selama ini, UN dinilai oleh banyak pakar pendidikan telah merusak filosofi pendidikan. UN bukan mencerahkan peserta didik justru mendidik anak didik menjadi pragmatis.
"Seharusnya setiap proses pembelajaran harus bersifat mendidik. Justru UN sebaliknya, menjadi teror bagi anak didik. Sebenarnya banyak alasan yang sudah disampaikan para pakar bila UN tidak memberikan kontribusi positif terhadap perbaikan pendidikan," kata Rohmani.
Ia berharap pemerintah membuka diri terhadap masukan tersebut. Justru yang diperlukan saat ini adalah bagaimana meningkatkan mutu pendidikan dan pemerataannya.
Ia menilai pemerintah seharusnya bekerja keras mengembangkan dan meningkatkan mutu pendidikan. Adapun penentuan kelulusan diserahkan kepada provinsi, daerah, dan sekolah.
"Biarkan mereka yang menentukan metodenya. Yang perlu dipikirkan pemerintah pusat bagaimana meningkatkan mutu dan pemerataan pendidikan," katanya.
Kalaupun pemerintah hendak mengukur mutu pendidikan, bisa digunakan metode lain tidak harus dengan UN. "Untuk sekadar mengukur mutu pendidikan, pemerintah bisa melakukan riset tanpa harus disampaikan kepada publik sehingga hasilnya lebih obyektif," kata Rohmani.