SELEMBAR KERTAS DIMASA LALU

SI PELAMUN DI SUDUT KELAS

Waktu terus berjalan
Melintasi negeri awan

Aku duduk di kereta bulan
Ah, indahnya negeri ini

Aku menatap hampa negeri awan
Yang kutunggu belum datang
Namun aku masih tetap menanti

Haruskah kupupus rasa ini
Karena kau tak datang?  

***
Aku menatap lesu buku catatanku yang berwarna merah. Sembari menutupnya dengan malas-malasan. Chika benar-benar menyebalkan! Betapa tidak, sedari tadi sepanjang jam pelajaran ia terus saja menggodaku…menggangguku…!
Awas saja nanti! Pasti kubalas dia. Aku akan buat perhitungan dengan cewek usil itu. Tunggu aja pembalasanku!
Aku menarik nafas dalam-dalam, sambil menghadap ke meja belakang. Namun, baru saja aku akan menoleh dan bicara, dua makhluk penghuninya langsung tertawa terbahak-bahak. Entah apa yang mereka tertawakan, mungkin ada sesuatu yang mereka anggap aneh dariku, dan mereka tahu akan hal itu. Sedangkan aku tidak.
Aku berpaling ke meja di sudut kelasku. Di sana, ada seorang cowok yang dapat membuatku salah tingkah. Bahkan seakan terbang ke langit ketujuh, saat mataku menatap mata teduhnya. Seperti saat ini, aku baru saja menyadari kalau dari tadi, ia menatap lekat ke arahku sambil memperhatikan gerak-gerikku dengan seksama, tanpa ingin berpaling sedikitpun.
Aku akan menghadap ke depan, namun kuurungkan niat itu. Karena kudapati matanya masih saja menatapku. Seolah-olah ada sesuatu yang amat menarik padaku. Oke, mungkin aku terlalu berlebihan dan sedikit narsis…tapi mau apa sih sebenarnya dia? Sekali dua kali aku masih bisa mentolerirnya. Tapi ini, selalu saja, tiap aku tanpa sengaja melirik ke arahnya, pasti ia pun tengah memandangku dengan tatapan…hmm…seperti orang yang melamun.
Yach…aku rasa untuk sementara prediksi seperti ini benar adanya. Walaupun aku masih tidak yakin dengan pendapatku kali ini.
Aku kembali menoleh ke meja belakangku. Penghuninya, Farel dan Putra masih saja tertawa. Aku semakin bingung. Apa sih yang mereka tertawakan? Akukah yang menjadi objek lelucon mereka?
Akhirnya aku coba untuk bertanya kepada mereka. Siapa tahu yang mereka tertawakan memang aku. Mungkin model rambutku, bajuku atau sepatuku…
Ada apaan sih?” tanyaku akhirnya.
“Gak ada kok…he…he…”
“Bohong!Udah jelas-jelas kalian ketawa mulu dari tadi. Ngetawain aku ya?”
Tawa mereka kembali pecah.
“Cerita dong…” kataku merajuk.
“Oke…oke…hmm…Gini, he..he..lho…” Putra menghentikan perkataannya sejenak, kemudian ia menatap takut-takut ke arah Farel.
“Apaan?” tanyaku lagi.
“Farel lagi naksir seseorang!”
“Siapa?” tanyaku bersamaan dengan Chika.
“Fitri!”  seru Putra histeris.
Setelah mengucapkan nama salah satu cewek paling cakep di sekolah, Putra tertawa lagi. Kali ini Farel tidak tertawa, Farel hanya menundukkan kepalanya dalam-dalam. Kasihan…tapi, aku dan Chika dengan senang hati ikut tertawa terpingkal-pingkal.
Gimana kami gak ketawa, Farel berani banget naksir Fitri. Bukannya aku memuji Fitri ataupun merendahkan Farel, antara Fitri dan Farel itu bagaikan langit dengan bumi! He…he…
Fitri terkenal, tajir, cantik, pintar dan dia pernah menjabat sebagai ketua osis waktu kelas satu dulu. Sedangkan Farel, wajahnya sih lumayan, tajir tapi otaknya…ngerjain orang mulu isinya! Ya mana mau lah Fitri sama dia. Imposible banget!Masih mending Farel naksir Moza…anak kelas sebelah…nah, lho… kok seperti CINTA FITRI sih?
Mataku tertuju lagi pada cowok di sudut kelas. Dhika masih menatapku! Ah…si pelamun yang akhir-akhir ini mengisi relung hatiku. Sudahlah! Peduli amat dengan Dhika. Mungkin aku yang terlalu ge-er menganggap Dhika sering menatapku…

***

Perasaan ini tak dapat ku hilangkan sekalipun aku ingin menguburnya. Aku sadar, perasaanku ini bertepuk sebelah tangan. Aku mengaguminya! Si pelamun yang dapat membuatku merasa menjadi seseorang yang sangat berbeda dari yang lainnya. Yach…Dhika. Aku tahu, aku gak bisa memilih pada siapa perasaan akan ditambatkan, benarkan? Perasaan itu akan datang dengan sendirinya, sebelum aku menyadarinya. Aku tidak berani mendefinisikan sindrom apa yang melandaku saat ini, karena akupun masih ragu akan kebenarannya.
Uh! Lagi-lagi sorot matanya tengah menatap padaku. Kali ini bukan tatapan biasa. Tatapannya seolah menghujam tajam tepat pada kedua bola mataku. Tapi, dengan sorot yang lebih menantang . Dan aku tergerak untuk balik menatapnya.
 Astaga! Ia tersenyum padaku…
Aku memperhatikan senyumannya lebih teliti. Senyum itu…menebar kesejukan bagi kekeringan hatiku. Ah…senyumnya manis banget!
Deg…!Deg…!
Deg…!Deg…!
Aku berpaling dari tatapan Dhika yang membuat detak-detak berbeda di dalam hatiku. Aku gak mau terlalu lama terhanyut dalam getar-getar yang membuatku merasa aneh begini.
“Chika….” aku memeluk sahabatku dengan histeris sambil memukul-mukul lengannya.
Chika hanya menatapku dengan seribu tanda tanya yang menari-nari di kepalanya. Ia berusaha lepas dari pelukanku.  “Loe mau dikatain kelainan, hah?” bisik Chika tajam.
Dan aku melihat sekelilingku. Semua mata menatap kehisterisanku dengan takjub. Oh! Jangan-jangan mereka menganggapku suka sesama jenis lagi!Oh my God!
Dengan segera aku melepas pelukanku dari Chika. Aku mendehem sedikit dan berusaha bersikap seperti biasa. Namun saat mengingat senyum Dhika tadi, aku kembali histeris. Tapi, tentu saja kali ini lebih terkontrol.
“Senyumannya…ahai…cute banget!” sampai-sampai aku mengangkat kedua ibu jariku untuk mengekspresikan kekagumanku akan senyum Dhika yang suangatzzz….cute!
Chika memegang dahiku dengan punggung tangan kanannya. Kali ini ia menatapku dengan sangat teliti seolah-olah ia adalah dokter ahli yang sedang memeriksa penyakit pasiennya.
Sejenak, sebuah senyuman terukir jelas di wajahnya. Senyuman yang mungkin bermakna ledekan, bahagia atau…
Happy banget ya?” ujarnya tenang. Tenang yang agak maksa. Karena aku yakin siapa Chika.
Dan dugaanku benar, detik berikutnya Chika langsung melompat kegirangan sambil mencolek-colek lenganku.
Aku memukul pelan lengannya, memberi isyarat bahwa aku ingin ia duduk kembali.
“Tadi Dhika senyum sama gue!” kataku berbisik.
“Loe yakin dia senyumnya ke loe?”
Aku mengangguk pasti. Gak terlalu pasti sih, karena masih saja ada keraguan yang menyelimuti hatiku.
Aku menoleh ke belakang. Dengan senyum jahilnya, Farel menatapku dengan tatapan…yang sedikit …hmm…aneh! Pandangannya mengisyaratkan bahwa ia mengetahui sebuah rahasia yang ada pada diriku. Apa mungkin ia mendengarnya? Uh…dasar datuk Maringgih!
Farel menari-nari di atas kursinya. “Gue tahu…!!!”
“Tahu apa?” tanyaku salah tingkah.
“Ha…ha…” Putra tersenyum misterius.
“Loe suka Dhika ya?” todong Putra tepat di depanku.
Skak matt!....Mati aku!
Sialan…dari mana Farel dan Putra tahu? Pasti mereka dengar tadi. Kalau mereka  ngadu ke Dhika gimana? Bisa hancur reputasiku…Ah, bodo amat deh yang penting sekarang, aku harus  jaim di depan mereka!Aku harus jual mahal, biar gak ketahuan. Ya, gak?
“Gak kok!” kataku sedikit emosi.
Duh, kenapa harus pakai emosi segala sih…bisa-bisa mereka semakin yakin kalau aku suka sama Dhika. Padahalkan aku cuma mau menutupi salah tingkahku. Sekarang, pasti mereka semakin yakin kalau aku suka sama Dhika.
“Ngaku aja deh…” rayu Farel.
“Lagi pula wajar kok kalau loe suka sama dia. Secara, Dhika itukan baek, tampangnya juga nggak jelek kok!” Putra ikutan nimbrung.
Chika tertawa geli. “Apa gue bilang, teman-teman bakal setuju banget kalau loe sama Dhika jadian. Ya gak?” gadis centil itu mencolek lenganku sambil menaikkan alis mata kirinya.
Aku meggeram galak ke arah Chika. Aku pelototi matanya yang hitam kecoklat-coklatan dengan kekesalan yang sulit kusembunyikan. Biarin aja Chika sadar aku lagi kesal sama dia. Lagian, dia apa-apaan sih!Bukannya bantuin aku keluar dari todongan Putra dan Farel, eh…dia malah membuat aku semakin tersudut. Gak solider amat sih!
“Loe ngaku aja deh, wajah loe yang kayak kepiting rebus itu gak bisa bohong!”
Aku terkesiap. Apa iya mukaku udah berubah warna? Kanapa sih, mukaku mudah banget berubah warna? Kalau emang mau berubah juga, warna yang lain deh…yang lebih bagus!
Putra menatapku serius. Ya udah deh, dari pada aku makin tersudut, mendingan aku ngaku aja sama mereka. Lagi pula merekakan sahabatku.
“Ya…gue ngaku. Puas!”
Lalu ketiga temanku itu langsung tertawa. Dan kurasakan mukaku semakin memanas. Aku semakin gondok, karena sudah beberapa menit berlalu, tawa mereka tak kunjung selesai. Memangnya salah apa kalau aku suka sama Dhika? Aku suka Dhika?
Oh, tidak! Aku hanya mengaguminya, gak lebih! Ah…kacau!!!
Aku sangat terkejut saat Farel berjalan ke arah Dhika. Untuk beberapa saat mereka berbicara seru sambil sesekali tersenyum-senyum penuh arti. Kemudian, mata mereka tertuju tepat ke arahku!
Oh my God! Pasti Dhika tahu kalau aku suka dia…gimana dong?
Tapi gak apa-apa, dengan begitu beban di hatiku sudah sedikit berkurang. Ya, sekalipun Dhika gak suka padaku.

Namamu yang melintasi dimensi hatiku
Orang bilang this is love
Mana mungkin?
Orang bilang aku mendusta diri
Aku semakin sangsi…
Apa benar I’m Falling in Love???

Cowok di sudut kelas, kenapa aku jadi begini? Aku harap kamu juga sepertiku! Biar kita merasakan kepedihan yang sama.
***
Sang raja cahaya tengah menebarkan sejuta kilau terangnya ke luas jagat raya. Pagi yang cerah. Tapi mungkin, hatiku lebih cerah….hmm…mau tahu kenapa? Iya dech, aku kasih tahu.Tapi jangan bilang sama orang lain ya? Cukup kamu dan aku aja yang tahu, akan hal yang membahagiakan ini.
Tadi malam, aku mimpiin Tiara. Di mimpi itu, aku sedang bermain petak umpet dengannya, permainan yang sangat aku senangi. Aku berlari kesana kemari…berkejaran…bersembunyi di balik pepohonan yang rimbun…..Bernyanyi bersama…. menari dengan penuh senyuman. Pokoknya masa-masa yang sangat menyenangkan deh! Tapi…hmm…
Aku tahu itu hanya sebuah mimpi. Bunga tidur…yang gak jelas kebenarannya. Karena akupun yakin, mimpi indah itu gak akan pernah terwujud, sekalipun aku ingin dan mungkin akan  berusaha untuk mewujudkannya. Sebuah mimpi yang hanya tercipta di dunia khayalku.
Aku sadar, hanya sebuah keajaiban yang bisa mewujudkannya. Sebab Tiara telah pergi….pergi sejauh mungkin, dan takkan pernah kembali lagi. Dan kepergian Tiara membuatku menjauhi dan menutup hatiku untuk Mario. Sekalipun aku masih yakin perasaanku yang pernah ada untuknya masih berbekas hingga detik ini. Tapi, tentu saja aku harus menutupi perasaanku yang sebenarnya untuk menutup kemungkinan, bahwa seorang Andini Miranda masih mempunyai rasa terhadap Mario Dionio, cowok paling rese’sedunia……Cowok yang telah membuat orang yang paling ku sayangi pergi untuk selamanya.
Pagi ini, sama seperti pagi-pagi sebelumnya. Aku tetap diantar kak Doni ke sekolah, Pak Karno tetap menjadi petugas keamanan sekolahku. Dan Pak Bowo masih melakukan tugasnya menyapu halaman. Namun, entah kenapa aku merasa pagi kali ini sangat istimewa. Apa mungkin karena tadi malam aku mimpi Tiara???
Aku berjalan ke kelas beriringan dengan Chika dan Putra. Dua teman dekatku ini sedang asyik membicarakan tentang  Fitri, sang juara kelas yang galaknya setengah mati sekaligus gebetannya Farel.
“Loe tau dari mana sih soal Fitri?”Tanya Chika ingin tahu.
Putra menarik nafasnya dalam-dalam, seolah ia akan menceritakan rahasia terbesarnya yang selama ini ditutupinya dari orang-orang disekelilingnya.
Putra mendehem sebentar. Lalu ia mulai bercerita.
”Gini, kemaren gue lewat di depan istananya tuh cewek sadis. Dan ternyata...dia gak seperfect yang kita bayangin selama ini! Gila! Sumpah, gue takjub banget. Gak nyangka seorang Fitri yang cakepnya sejagat raya bisa menjadi seperti itu. Ck...ck...ck...”Cerita Putra antusias.
Gila juga Putra, cowok kok hobi banget gosipin orang. Malu dong sama celana! Ntar celananya minta ganti rok, baru nyahok!
Tapi kayaknya asyik juga dengerin headline news ini. He....He.....just kidding bro’! ”Gak perfect gimana sih, maksud loe?” tanyaku buru-buru.
Putra menghela nafas sejenak.
”Kemaren itu, gue mergokin dia lagi ambruadul gitu, dia lagi gak pake make up. Mungkin karena terburu-buru marahin satpamnya yang hidupin kaset dangdut, tuh cewek sampe gak ngeh liat keadaan dirinya. Kasihan banget deh tampangnya!”
Diam-diam aku tersenyum geli. Kena juga si Fitri! Aku gak bisa membayangkan bagaimana rupa Fitri kemaren. Pastinya dia hancur banget!
”Emang raja gosip loe!” ledekku pada Putra. Bukannya tersinggung atau gimana, tuh cowok malah nyengir kuda.
”Ya iyalah, secara gue gitu lho.”
Putra dan Chika tertawa tertawa terpingkal-pingkal. Sampai akhirnya tawa itu terhenti ketika  Mario tepat berada di depanku. Ada urusan apalagi bocah gendeng ini denganku. Gak ada kapok-kapoknya yach, nih cowok......
Hi, Dini.....” sapanya ramah. Eh, bukan! Maksudku, sok ramah.
Aku memalingkan mukaku. Berusaha membuatnya tersinggung.
”Dini....” mau tak mau aku menoleh, walau dalam hati aku menggerutu kesal.
”Ngapain loe hi hi hi segala!Gak penting tau gak!” aku melet kearahnya. Tak disangka, cowok tengil bin ajaib itu  malah balik melet ke arahku! Waduh mimpi apa aku semalam, sehingga harus berurusan sama bocah pengganggu seperti dia?!
”Cantik-cantik kok galak sich....” aku berkacak pinggang mendengar ucapannya yang lumayan tidak menyenangkan.
”Idih biarin! Apa urusan loe!” kataku sengit.
Mario berpikir sejenak. Kemudian, sebuah senyuman telah melekat erat dibibirnya. Oh my God! Itukah senyuman yang membuat dirinya dipuja tiap cewek yang mengenalnya? Dasar buaya! Tukang tebar pesona!
Oke, aku akui dia memang keren dan smart. Tapi itu gak membuatku bakalan bertekuk lutut memohon hatinya, seperti gadis-gadis lain. Walaupun di dunia ini udah gak ada cowok keren lagi, lebih baik aku suka sama cowok jelek daripada harus sama dia! Ih...amit-amit....
”Gile! Loe jutek banget sih.....beda banget kalo ngomong sama kita-kita!” Putra menatapku dengan pandangan heran sambil menggelengkan kepalanya.
Aku mendengus kesal lalu menatap Putra dengan pandangan tak bersahabat. Seakan mengerti makna dari tatapanku, Putra dan Chika langsung menunduk dan........mereka kabur! Meninggalkanku bersama cowok aneh ini. Dasar temen gak solider!
”Senyum dong....masa’loe gak mau senyum ama gue. Sama yang lain, aja..loe ramah banget. Eh, giliran ama gue, juteknya setengah mati”
Mario masih mempertahankan senyum itu.
”Minggir loe!Gue mau lewat.” seruku dan mendorong tubuhnya hingga nyaris terjatuh menimpa tempat sampah kelas. ”Rasain loe!”
Aku melangkah pergi meninggalkan kedua temanku tadi. Eh, bukan aku yang meninggalkan mereka.Tapi, mereka yang meninggalkan aku.
Oke, aku positive thinking aja dulu. Mungkin mereka ada urusan lain barangkali. Sehingga dengan sangat terpaksa mereka harus meninggalkanku. Tapi, aku rasa mereka sangat senang tadi, saat menjauh dariku. Oh....sudahlah. Lupakan saja dua makhluk itu, yang jelas, sekarang aku harus lari dari cowok yang sudah menghancurkan kenangan terakhir Tiara untukku, dengan sangat tidak berperikemanusiaan.
Aku menoleh ke belakang, sebelum sempat kusadari sebuah tangan mencekal lenganku dengan sangat erat. Seandainya tangan itu bukan cowok yang sudah menghilangkan kenanganku bersama Tiara. Pastinya jantung ini berdebar tak seirama lagi.
Aku melepaskan cekalannya dengan kasar sambil menatap geram padanya. ”Gak usah pegang-pegang deh! Mau loe itu apaan sih?!” hardikku marah.
Mario memandangku dengan sedikit salah tingkah. Mungkin karena aku menghardiknya barusan. Tapi detik berikutnya ia tersenyum kembali. Dasar manusia aneh!
”Sorry...gue gak sengaja. Loe sih, main pergi aja...”
”Trus gue harus ngapain di sini? Gue gak ada urusan ama loe.”
Mario menatapku sejurus. Pandangan matanya yang tiba-tiba serius membuatku sedikit salah tingkah. Jangan tatap aku seperti itu!
Kurasakan dadaku berdebar-debar tak karuan. Kurasakan pipiku mulai menghangat. Oh, no! Jangan sampai kejadian masa lalu terulang lagi!
”Ngapain loe liatin gue mulu! Hah!” seruku berusaha terlihat galak.
Aku mengatur nafasku. Huh..hah..huh..hah..
”Gue pengen banget loe seperti saat kita pertama kali bertemu. Saat gue,loe dan Tiara belajar bersama, bermain....Tapi sekarang, Tiara udah pergi...dan loe pun pergi meninggalkan gue.”
Mario menundukkan wajahnya dalam-dalam.
Oh, dia pikir aku bakal terpengaruh dengan tingkahnya yang tiba-tiba saja jadi sangat sendu begini, dan akan segera memaafkannya. Sorry, gak semudah itu aku melupakan peristiwa naas itu! Walaupun Mario bakal menangis darah di depanku, jangan harap aku bakalan maafin dia!
Aku terdiam sejenak, teringat seulas kenangan... Saat aku pertama kali mengenal Mario. Kalau gak salah, lima tahun silam...
Aku menghela nafas dalam-dalam.
Waktu itu, Mario menjadi anak baru disekolahku. Aku dan Tiara adalah teman pertama Mario sejak ia menetap di Jakarta. Selama bersahabat dengan Mario, hampir semua mata para gadis menatap iri padaku dan Tiara. Bahkan suatu ketika, seorang gadis dari sekolah lain....meminta kami untuk menjauhi Mario. Singkatnya, hampir semua makhluk yang berjenis kelamin perempuan.....mengaguminya.
Aku menenangkan pikiranku dan berusaha bangkit mempercayai realita. ”Itu semua gara-gara loe!”
Mario mendongak menatapku. Ia tampak sangat terkejut dengan apa yang baru saja kukatakan.Tapi kini, ia kembali tersenyum. Senyuman yang nyaris tanpa ekspresi.
”Loe lucu dech...” gummnya lembut.
Huek!!!! Dia pikir aku Hamtaro apa? Dasar bocah edan.....Apa sih yang ada di pikirannya? Tadi aja, dia serius banget. Sekarang?! Keluar deh sifat anehnya, plus menyebalkan.
“Gue yakin loe bakalan maafin gue....karena gue tahu loe itu baek..... banget.” Mario tersenyum, lalu ia menatapku lekat-lekat.
“Jangan mimpi! Sebelum loe bawa kertas itu!”
Aku berlalu dari hadapan Mario. Dan kali ini ia sama sekali tidak mencegatku pergi. Syukurlah...
“Din.......!”
Sebuah panggilan membuatku menghentikan langkah. Aku menoleh ke belakang, seorang gadis berlari ke arahku dengan nafas terengah-engah.
“Main tinggal aja loe....” kata Chika galak.”
“Gue kirain loe duluan....eh, mana Putra?”
“Toilet.”
“Oh...kita masuk kelas yuk. Pe-er Matematika gue belom kelar nih...”
“Iya, gue juga nih....”
Dan aku melangkah dengan riang bersama gadis manis di sampingku.

***



















ASTAGA, AKU DIGOSIPIN....!

Ia bersinar dalam gelap malam
Ia diam dalam kehampaan
Ia tertawa senja datang
Ia  menangis saat fajar menyingsing........

Saat malam turun hujan
Ia takkan datang
Hingga awan bersedia menampakkan kegagahannya
Dan sahabatku akan datang

Aku sayang dia
Aku rindu dia
Teramat sangat ingin jumpa dia
Namun....
Hujan kembali datang

Tapi aku berjanji
Esok....
Kan ku usir hujan nakal itu
Dan ku sapa sahabatku
Hai bulan, hai bintang.....

***

Aku duduk di jendela kamar sambil menatap hujan yang sudah turun sejak siang tadi. Mungkin langit memahami kegundahanku dan iapun menangis sebagai tanda keprihatinannya terhadapku.
Pikiranku jauh meninggalkan raga. Kali ini Dhika yang berada di pikiranku. Aku sama sekali gak mengerti dengan perasaanku. Kadang aku merasa benci padanya. Mungkin karena sifatnya yang terlalu pemalu dan menutup diri dari cewek-cewek. Tapi setelah ku pikir-pikir, Dhika gak pemalu kok sama cewek. Buktinya dia sering banget ngobrol sama anak cewek kelasku. Tapi kenapa sama aku dia terkesan dingin banget ya?
Obrolan Dhika dengan Farel tadi di sekolah terngiang-ngiang di telingaku.
”Loe yakin Dini suka ama gue?”  tanya Dhika sangsi.
”Iya, gue yakin banget. Gue denger sendiri kok dia bilang ke Chika kalau dia itu naksir loe.”  jawab Farel terlalu optimis.
”Hmm.....tapi kalau itu gak bener gimana?”
”Loe percaya deh sama gue.” Farel menepuk-nepuk bahu Dhika, yang tertunduk lesu memahami hatinya.
Dan ketika aku yang sebenarnya sudah tahu dari tadi pembicaraan mereka, lewat di hadapan mereka, mereka tampak sangat salah tingkah!
Kembali ke aku yang sedang menatap hujan. Hmm....Dhika, Dhika...kamu terlalu pengecut untuk mengungkapkan perasaanmu. Dan sikapmu itu membuatku sangsi untuk mengukir namamu di relung hatiku. Apalagi, saat ini aku hanya mengagumimu! Bukan menyukaimu. Apa jadinya nanti kalau aku benar-benar menyukaimu?!
Aku tahu alasanmu, karena takut patah hati bukan?Tapi menyukai seseorang kalau gak ada tantangan dan resikonya, aku rasa gak bakalan menyenangkan. Aku juga tau, kalau aku ini adalah yang pertama kamu sukai.
Dhika....kapan ya perasaan ini dapat kokoh. Karena aku belum yakin akan hal ini, apa aku benar-benar menyukai Dhika atau tidak. Yach....walaupun sebenarnya aku memiliki asa untuknya dan mungkin asa itu dapat mengalir deras dalam nadiku, bersemayam dalam hatiku.....dan tinggal di jiwaku. Sehingga asa yang sedikit itu akan berubah menjadi suatu rasa. Rasa yang mungkin akan membuatku mengenal apa itu...Love.
Aku menarik nafas dalam-dalam. Mengapa aku bisa segitu puitisnya ya??? Apa aku terlalu mendramatisir keadaan? Hmm...Sampai sekarangpun aku belum mengerti dengan pasti sindrom yang menderaku akhir-akhir ini.
***

Andai kau tahu isi hatiku
Andai kau datan membawa hatimu
Namun kau pengecut!

Andai kau buka lembar demi lembar coretan ini
Andai kau paham makna ini
Dan kau akan mengerti, apa inginku.....


Aku duduk di sofa ruang tengah sambil menatap masygul buku kesayanganku. Hmm.....betapa perih rasa ini. Bayangan Tiara...Dhika...dan Mario bercampur jadi satu. Membuatku makin letih dengan dilema yang mendera diusiaku yang akan menginjak usia delapan belas tahun ini.
Aku masih ingat kalimat terakhir yang diucapkan Tiara padaku....
Kring.....
Kring.....
Kring.....
Aku segera mengangkat telpon yang berada tepat di sebelahku.
”Hallo....”  sapaku ramah.
”Hallo, ini benar rumahnya Andini Miranda?” kata seseorang di seberang dengan suara serak-seraknya. Dan aku tahu betul siapa pemiliknya. Siapa lagi kalau bukan....Kevin!
“Ya, ini gue, Andini.?”
“Ini gue, Kevin...yang dulu pernah nembak loe, pas SMP”  kelakarnya konyol.
Aku mengingat-ingat kejadian saat aku kelas tiga SMP....hmm...aku sampai lupa kalau Kevin pernah nembak aku, kalau saja ia tidak mengingatkanku. Penembakan yang sangat lucu dan mungkin sedikit aneh bagiku.
“Loe masih inget?”.
”Ha..ha...gimana gue bisa lupa? Gue kan pernah bilang kalo loe itu cewek pertama yang pernah gue sukai. Dan sialnya, gue ditolak!”
”Ha...ha..udah jelas gue belum mikirin hal-hal gituan.”
“Kalau sekarang pastinya udah dong…iya kan?”
”Emangnya loe mau nembak gue lagi?” gurauku pada Kevin.
”Rencananya sih gitu. Cuma, sohib gue yang ganteng ini suka sama loe! Terpaksa deh gue ngalah...nih, dia mau ngomong sama loe?”
”Maksud loe...Dhika?”
”Yupz! Dia suka banget sama loe.”
Hening sejenak. Kurasakan helaan nafas panjang di ujung sana.
”Hallo?”  sapaku ragu-ragu.
”Hallo juga. Gue... ganggu gak?”
“Gak...Ini siapa?”
“Hmm...Dhika.”
Hah? Astaga! Pikiranku campur aduk semua nih. Apa yang harus aku katakan padanya? Kalau dia mau ngomongin perasaannya padaku gimana? Mudah-mudahan Dhika gak bicara macam-macam.
“Ada apa ya Dhika?”  kuberanikan diri untuk bertanya.
“Gue...engg...gue...Aduh, gue kebelet nih...Kevin aja deh yang ngomong.”
Terdengar suara Dhika meminta tolong pada Kevin.
Uh! Gimana sih, nih orang. Sebenarnya dia ini suka sama aku gak sih?!
“Hallo, Din loe masih di sana kan?”
Ya iyalah masih disini! Kamu kira aku lagi ke Hongkong? Gak tahu apa aku lagi sebal berat sama sahabatmu itu!
“Masih...emang ada apaan sih? Tumben loe nelpon gue.”  sahutku ketus.
Suasana hening sejenak...Kemudian terdengar helaan nafas berat dari seberang. Sepertinya ada sesuatu yang serius yang akan diceritakan Kevin padaku.
”Hmm....Gini, Dhika suka sama loe....hmm...Loe mau gak jadi ceweknya?”
Aakkhhggg...!!! Oh, No! Andai saja kalimat ajaib ini diucapin oleh Dhika. Tapi kenyataannya? Bukan dia yang sedang berbicara padaku.
Aku merasa ada yang aneh saat Kevin menyatakan ini. Seolah-olah ada beban berat, tatkala kata-kata ini ia ucapkan. Mungkin seperti perasaan...hmm...kecewa!
Oke, mungkin aku yang terlalu ge-er, narsis atau apapun jua. Tapi memang itulah keadaannya menurutku. Apa mugkin, Kevin masih meyukaiku?
”Kenapa gak dia aja sih yang ngomong langsung?” tanyaku sedikit kesal. Karena bagiku, kalau cowok hanya berani menyatakan perasaannya lewat temanya, itu sangat memalukan dan membuat cewek yang ditembak merasa tersinggung. Begitupun aku!
”Gue tersinggung tau gak!”
 ”Tapi dia benar-benar gak punya nyali buat bilang langsung ke loe! Selain itu dia takut patah hati!”
Cowok apaan tuh! Hare gene takut patah hati?! Bakalan jomblo terus! Apa susahnya sih cuma bilang apa yang dirasakan ke cewek yang disukai?!
”Gimana jawaban loe?”
Aku terdiam. Bingung! ”Tunggu dulu. Loe gak ada perasan gimana gitu saat menyampaikan perasaan Dhika sama gue barusan?” tanyaku memancing.
”Enggg...itu...itu...eh..Din, oke...gue akuin dan ini benar-benar gue rasain. Sebenarnya gue merasa sedih banget. Gue masih ada rasa buat loe. Tapi, Dhika itu orang yang sangat berarti banget buat gue! Dan gak ada satu orang pun yang boleh nyakitin hatinya.”
Aku tertegun mendengar pernyataan yang begitu mendalam dan sarat emosi seperti ini. Sungguh aneh, seorang Kevin yang cuek bisa juga perduli pada orang lain.
”Termasuk gue?”
”Ya...mungkin.”
”Kok jadi sendu gini sih...” kataku sedikit merajuk.
“Eh iya.... loe sih...”
Dan kamipun tertawa bersama. Tawa yang telah lama gak pernah berkumandang lagi. Tawa yang dulu sempat mati gara-gara tragedi penembakan Kevin. Tawa yang dulu sempat menghilang sejak perpisahan kami.
So...?”
“Hah? Apaan sih so so segala?”
“Ha..ha..” tawa Kevin terdengar sangat sendu ditelingaku. Tawa itu menyimpan kesedihan dan kegetiran.
“Ngetawain gue lagi!”
“Iya deh…Trus gimana?”
“Gimana apanya?”
“Loe terima gak?”  suara Kevin terdengar sedikit kesal.
“Gak ah! Gue pengen denger dari mulutnya sendiri. Ya udah, gue mau keluar dulu nih. Bye…”
 “Tapi Din…!! Din…”
Aku memutuskan sambungan dengan perasaan gado-gado. Antara kesal, lega dan bete. Dasar pengecut! Gak jauh beda dari Mario......
Nah, kok Mario yang kena ya?Aduh…gimana dong! Aku jadi jengah sendiri dengan ini semua. Help me please!....
***
Aku duduk disalah satu kursi di taman belakang sekolah. Kalau saja bukan karena Chika, jangan harap aku mau mendatangi tempat ini. Bukan apa-apa, tempat ini terkenal dengan tempat nongkrong anak cowok! Betapa menyebalkannya! Yang aku lihat dari tadi hanya cowok-cowok gak jelas. Mereka lalu-lalang di depanku sambil senyum-senyum aneh. Membuatku semakin kesal!
Aku heran. Kenapa ya, akhir-akhir ini bawaanku kesal mulu. Apalagi kalau ketemu Mario. Wah....gawat tuh! Kadar kekesalanku bisa naik hingga seratus derajat!
Chika sih, pakai ada perlu wawancara dengan anak-anak basket. Jadinya aku yang ketiban sial. Mau tau kenapa?
Aku menoleh benci ke arah sosok yang duduk di sampingku.
Kaulah...belahan jiwaku…kaulah curahan hatiku..kaulah cahaya hidupku...kaulah segalanya...takkan pernah terganti...takkan ada yang bisa sepertimu...oh....” cowok tinggi jangkung itu melirikku dengan penuh rasa bangga yang berkobar-kobar dalam hatinya.
Aku membalasnya dengan tatapan kesal penuh rasa dongkol ditambah bumbu benci. Mungkin aku gak bakal segitu sebalnya,  kalau saja yang menyanyikan lagu Belahan jiwanya D.O.T barusan ini, bukanlah cowok yang sampai detik ini masih cangar cengir gak jelas ke arahku. Sungguh terlalu!
Aku melengos untuk memberi isyarat bahwa aku sangat terganggu atas kehadirannya. Namun tampaknya ia gak tersinggung sama sekali. Uh...!Apa sih yang ada di pikiran cowok ini?
Kucoba tuk bertahan dalam kisah ini...tak bisakah sejenak kau jangan pergi...”
STOP!”  teriakku kesal. Yang barusan dinyanyikan cowok gila ini adalah lagu kesukaanku. Dan sangat tidak cocok bila dinyanyikan sama orang gila bertingkah aneh seperti dia!
Cowok itu sedikit kaget, namun detik berikutnya ia menatapku dengan seksama. Tangan kanannya menopang dagunya yang lancip bak lebah bergantung. Kenapa tuh lebah gak nyengat dia aja ya? Aku bakalan berterima kasih pada tuh lebah, kalau saja mereka mau menyengat makhluk menyebalkan ini.  Aku janji!
”Loe manis, sama seperti dulu.” gumamnya sambil terus menatap lekat diriku.
Lebah-lebah yang baik hati, kenapa kalian gak menyengat Mario? Apa kalian takut akan wajah kerennya?
”Gue saranin ya, mendingan pujian loe itu, kasih aja sama para penggemar loe! Gue yakin, mereka tambah cinta sama loe!” aku jadi heran. Mariokan orangnya susah banget kalau memuji orang. Apalagi cewek! Nah ini, kok sama aku mulutnya manis banget ya? Sekalian aja bilang aku mirip Emma Watson atau Marshanda! Dasar buaya!
Aku melotot jengkel ke arah Mario. ”Apa loe liat-liat?! Baru sadar kalau muka gue jelek?! Nyesal udah bilang gue manis?!” aku berkata-kata tanpa ada sedikitpun kesan ramah yang tersirat dari kata-kataku barusan. Dan ini amat bertentangan dengan predikat yang diberikan teman-teman padaku, Friendly girl (narsis dikit, bolehlah...)
Ia tersenyum sejenak sambil terus menatapku lekat-lekat, penuh...kekaguman. apa sih yang dikaguminya dariku? ”Loe akuin deh, suara gue bagus kan?”
Hampir saja aku terjatuh mendengar perkataannya yang benar-benar kepedean! Ya ampyunnn....Hare gene, masih ada orang yang tingkat kepedeannya melampaui batas manusia normal pada umumnya? Oh iya, Mario kan gak normal! Ya, aku baru ingat! Mana ada cowok normal yang tega-teganya menghancurkan sahabatnya sendiri.
Tapi aku gak menampik juga sih, kalau sebenarnya, suara Mario memang...hmm...bagus. Namun jangan harap aku bakalan memuji dia di depan batang hidungnya! Bisa-bisa cowok pengganggu itu terbang ke langit yang ketujuh.
”Jangan mimpi deh loe!”  kataku dengan nada meremehkan.
Mario menerawang. “Gue gak mimpi kok! Gue udah bangun. Loe mau tau gak, mimpi gue apaan? Gue mimpi loe maafin gue dan kita jadian deh!”
Aku menoleh padanya. Tiba-tiba saja aku merasa ketakutan. Entah kenapa. Saat berada di dekatnya aku merasa damai. Dan aku takut kalau dia pergi dariku. Aku gak mau dia meninggalkanku.
Aku menghela nafas panjang. Sambil menatap lurus ke depan.
Dari kejauhan samar-samar aku melihat Chika berlari ke arahku. Ternyata memang Chika. Ia mendekat dengan nafas memburu.
Aku memandangnya dengan kesal karena gadis itu telah meninggalkanku terlalu lama. ”Kemana aja sih loe? Gue udah ubanan tau gak!”
”Sorry, lo kayak gak tau anak basket aja.”
Ya...emang sih, anak basket terkenal dengan hobi mereka yang...kalau lagi diwawancara, pasti lagaknya seperti artis sekaliber Daniel Radcliffe, Emma Watson atau Britney spears...
Mata Chika tertegun melihat cowok di sampingku. Kemudian, gadis manis itu tersenyum penuh makna kepadaku.
”Gue ganggu ya...” kata Chika.
Aku mendelik sewot ke arahnya. Lalu aku menarik lengan Chika dengan segera. Karena aku sudah gak tahan lagi bila harus berdekatan dengan Mario. Sebab, perasaanku menjadi tak menentu bila harus berada di dekatnya. Perasaan yang sama saat aku masih bersahabat dengannya! Perasaan yang sama saat aku mulai menyukainya. Dan aku gak meu kalau perasaan itu muncul kembali. Aku gak mau harus tersakiti dua kali! Aku gak mau!”Ke kelas yuk! Bete tau gak, di sini!”
”Tunggu!” Chika melepaskan tanganku dari lengannya dan iapun berjalan ke hadapan Mario. Dengan terpaksa, aku melangkah duluan ke kelas. Meninggalkan sobatku yang saat ini sangat menyebalkan!!!
Tapi, baru beberapa langkah aku berjalan, Chika memanggilku dengan teriakannya yang amat sangat dashyat.
”ANDINI MIRANDA!!!!!”
Aku menoleh ke belakang. Gadis manis bertubuh langsing itu berlari mengejarku.
”Tega loe ninggalin gue!”
Aku melotot mendengar perkataannya. ”Hello! Harusnya gue yang marah sama loe! Bukan sebaliknya!” kataku dengan suara yang lumayan bervolume tinggi.
Chika hanya senyam-senyum gak penting. ”I...ya sih...he..he..”
”Nyengir lagi. Gak lucu tau gak!”
”Andini manis....baek....jangan ngambek dong”
”Mau merayu? Gak mempan!”
”Gue tadi ada perlu banget sama Mario....loe tau kan gue ini wartawan sekolah.”
So? Apa hubungannya dengan Mario?’
”Bulan ini, temanya tentang siswa-siswa yang memiliki skill atau kemampuan selain akademis.”
Apa hubungannya dengan Mario? Tuh anakkan otaknya gak lebih dari gangguin orang mulu. Gak lebih dari seseorang yang mengacaukan hidupku!
”Trus?” tanyaku ingin tahu.
Chika memegang kedua bahuku. Lalu ia menarik nafas panjang. ”Andini, Mario itu vokalisnya Band sekolah.”
Oh...gitu. Jadi, karena dia vokalis band sekolah dia diwawancara. Apa enaknya sih wawancara sama cowok kayak dia? Gak ada untungnya! Yang ada kita malah ketiban sial. Atau lebih parahnya, mungkin kita akan kehilangan orang yang kita sayangi! Maka dari itu, lebih baik jauhi Mario!
Aku menatap sahabatku dengan lembut. ”Udah siap wawancaranya?”  kali ini nada suaraku tidak seperti tadi.
”Belum, ntar malam gue bakal dihubungin sama Mario.”
Tiba-tiba saja perutku terasa geli. Aku ingin tertawa mendengarnya. Tentu saja itu gak aku lakukan, karena aku menjaga perasaan Chika. Akukan bukan Mario yang gak pernah bisa menjaga perasaan orang lain.
Aku tersenyum sedikit. ”Ih...mau-maunya loe berhubungan sama yang namanya Mario.”
Chika menghela nafas berat mendengar pendapatku barusan. Sejenak matanya menerawang, seolah ada yang dipikirkannya. Dan itu sangat dalam, menyangkut hatinya.
”Mario itu ganteng....cool...baik....sopan dan suaranya easy listening. Dia gak ngegombal, tukang rayu...ataupun berandalan.”
Aku melongo saking terkejutnya. Usil gitu dibilang cool? Mana ada orang yang tega membuang satu-satunya barang yang sangat berharga bagi temannya, bisa dikatakan baik? Mana ada orang yang suka memuji cewek secara berlebihan bisa dikatakan gak ngegombal, gak merayu?! Aduh Chika...kamu pasti kena pelet sama Mario. Atau gak kamu salah minum obat ya, tadi pagi. Atau tadi kamu kesambet?!
Tunggu dulu, kenapa tiba-tiba Chika jadi begitu mendalam banget ya, saat memuji Mario? Lalu kenapa wajahnya jadi berwarna kemerah-merahan gitu? Hmm...jangan-jangan Chika ada feeling lagi, sama Mario. Aduh....jangan sampai! Karena aku gak bakalan pernah setuju. Aku gak terima kalau Chika yang baik, manis..lembut dan terkadang mirip Tiara, harus jadian sama cowok superaneh bin ajaib seperti Mario! Gak akan pernah!
Aku menatap Chika penuh curiga. ”Loe gak sukakan sama Mario?” Tanyaku hati-hati.
Chika hanya diam tak bergeming. Pipinya semakin merona. Tampaknya ia tersipu malu mendengar perkataanku. ”Kenapa loe diam?” tanyaku cepat.
Tiba-tiba saja Chika menjadi salah tingkah sendiri. Gadis itu hanya menunduk dan melangkah cepat ke kelas.
Aku menyamai langkahnya. ”Loe suka ya, sama Mario?!”
”Idih....siapa lagi yang suka sama dia. Gak mungkin lah!” belanya gelagapan.
Kata orang bahasa tubuh lebih jujur, dan aku yakin kalau Chika menyukai Mario. Ya, sangat jelas sekali. Gak salah sih...tapi, Mario itu musuhku! Dan Chika sahabatku. Ya, gak mungkinlah!
***
Hari ini tak sebaik hari lalu. Bayangan itu tetap saja menatapku dengan tatapan penuh harapan. Setiap aku duduk, berdiri ataupun berjalan menapaki luasnya bumi. Pandangannya selalu menatap lekat diriku. Tanpa ingin berpaling melihat yang lain, yang mungkin lebih menarik daripada seorang gadis sepertiku.
Dan saat ini, detik ini. Matanya amat jelas menghujam kearahku. Entah apa yang dilihatnya, aku gak pernah tahu. Atau sebaiknya aku memang gak tahu?
Aku memang gak pernah tahu hal apa yang seringkali membuat Dhika menatapku dengan seksama.Tapi minimal, aku tahu kalau dia menyukaiku. Sebenarnya bukan aku saja yang mengetahuinya. Teman-teman sekelaspun telah tahu akan hal ini. Mungkin hal ini tidak akan membuatku malu atau minder. Mungkin sedikit risih, ya.
Dari kemaren, aku dan Dhika sukses menjadi bahan ledekan satu kelas. Kasihan Dhika, dia gak secuek aku saat diledek seisi kelas.
”Jadi bener?!” tanya Chika histeris saat ia berada di hadapanku.
Aku menoleh padanya. Apa sih maksud Chika? Gak ada ujung pangkalnya gini. Baru datang sudah bertanya pertanyaan yang gak jelas seperti ini. Bukannya duduk dulu manis-manis, sungkeman atau apa gitu.
”Apanya?” tanyaku heran.
Chika memukul jidatnya. ”Bego’! Ya loe lah!”
Aku? Kenapa denganku? Rasanya gak ada yang salah tuh, padaku. Aku masih sama seperti yang kemaren. ”Chika, gue beneran gak ngerti maksud loe apaan!”
”Serius loe?”
Aku mengangguk pasti.
OH MY GOD! Loe itu nyadar gak sih kalau loe itu udah kena gosip!”
Oh, perihal gosip itu. Itu sih aku udah tahu. Bilang dong dari tadi! Cuma gosip doang kok segitu banget.
Aku membuka buku teks bahasa Indonesiaku. Lalu memberi Chika sebuah senyuman. ”Emang loe kemana aja kemaren? Tuh gosip udah beredar dari kemaren.”
Chika nyaris melotot saking gak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. ”Kemarenkan gue gak sekolah...Jadi, bener?”
Aku mengangguk.
”Trus dari mana loe tahu? Loe kan baru datang?
Chika tersenyum nakal. Ia menaikkan alis matanya bergantian. Curang! Ada sesuatu yang disembunyikan gadis centil ini dariku. Pasti....
By the way, loe udah jadian ama Dhika?”
Hah? Kali ini gantian aku yang melotot ke arahnya. ”Jadian? Kapan Dhika nembak gue?” kataku kaget.
Chika menatapku heran penuh tanda tanya yang bersemayam diotak jahilnya.
”Tapi...kata ...” sebelum Chika menyelesaikan kalimatnya, bayangan seorang cowok melintasi pikiranku. Pipiku terasa panas.  Raja gosip mulai lagi nih!
Dengan sigap, aku melangkah kearah cowok hitam manis yang sedang ngerumpi asyik bersama Farel. Nafasku naik turun. Kejengkelan yang sangat, gak bisa kusembunyikan seutuhnya.
Harusnya aku memang tidak menggubris gosip murahan ini. Tapi lama-lama aku jadi jengah sendiri. Mendengar ledekan-ledekan yang membuat kupingku seperti dibakar. Dan ini pasti gara-gara Putra! Siapa lagi kalau bukan dia, tukang gosip yang paling tahu masalah orang lain dengan sedetail-detailnya.
”Woi!” aku memukul bahu Putra dengan emosi.
Cowok itu menoleh sambil menyunggingkan senyumannya yang menurutku lumayan bagus. Astaga, Dini! Sempat-sempatnya kamu menganalisis senyuman musuhmu sendiri?!
”Eh...ada Dhini. Ada apa Din?”  sahut Putra masih seperti biasa.
Aku menggeram dalam hati. Udah jelas-jelas salah, pura-pura gak ngerti lagi! Gak tau kesalahan amat sih nih bocah. Rasanya aku gak pernah punya salah sama dia. Tapi kenapa tega-teganya dia menyebarkan gosip yang membuatku gerah?! Kenapa?!
”Harusnya gue tau dari kemaren kalo loe yang nyebarin gosip itu! Iya kan!” Hampir saja mataku keluar saking kesalnya.
”Weittss...sabar girl!What’s up?”
Aku menghela nafas panjang. ”Gak usah pura-pura deh! Loe kan yang nyebarin keteman-teman kalau gue ditembak Dhika?! Loe sadar gak sih, gimana perasaan Dhika ataupun gue? Atau loe coba rasain sendiri, gimana rasanya kena gosip yang gak bener! Jangan Cuma bisanya gosip doang!!”
Putra terdiam. Tidak ada lagi senyuman yang biasa menghias wajah cutenya. Telah hilang sorot matanya yang selalu bersahabat dan berbinar-binar lucu.
Suasana menjadi tegang. Hampir seluruh mata menatap kami dengan penuh tanda tanya.
”Din...apa maksud loe?” tanya Putra dingin. Sedingin es.
Aku menatap mata bulat Putra tanpa senyum sedikitpun. ”Gue tahu loe sobat gue. Tapi kali ini loe keterlaluan! Loe gak pernah mikir gimana perasaan Dhika! Asal loe tahu ya, Dhika gak pernah nembak gue. Dan mungkin gak bakalan pernah!”
Putra terkesiap. Ia menghela nafas panjang. Menatap lembut ke arahku.
”Din, gue gak pernah nyebarin keteman-teman kalau loe ditembak Dhika! Waktu itu Dhika curhat ke gue kalau dia pengen nembak loe. Trus dia bilang, beberapa hari yang lalu dia pengen nembak loe, tapi... Kevin yang nyampein ke loe. Bukan dari mulut Dhika sendiri. Dan ternyata, omongan gue terdengar oleh teman-teman yang lain....dan loe bisa lihat sendirikan keadaannya.”
”Loe gak usah bohong! Gue tahu loe itu suka ngegosip, jadi gue yakin loe Cuma cari alasan aja kan?!”
Putra membuang muka.
”Kenapa? Loe emang salah kan?! Ngaku aja deh loe!”
Cowok itu kembali menatapku. Tajam. Penuh emosi. Kali ini aku hanya menunduk. Karena aku gak tahan kalau harus berkelahi dengan sahabatku sendiri!
”Gue gak pernah ngelakuin itu! Sumpah! Kalau loe gak percaya, percuma loe bersahabat dengan gue. Karena gue bukan orang yang gak bisa menjaga rahasia sahabatnya sendiri!”
Aku diam mendengar penjelasan Putra. Aku mendongak sedikit, untuk menatap wajahnya. Di mata itu, gak ada kebohongan yang tersirat. Hanya ada tatapan memohon dan kejujuran.
”Oke! Gue pegang omongan loe!”
Kemudian, aku kembali ketempat dudukku tadi. Dan mata-mata tadi masih menatap kearahku dan Putra. Tapi, peduli amat. Yang jelas aku udah memberi kepercayaanku pada Putra. Dan masalah ini aku anggap selesai. Biarlah gosip itu berlalu seiring berjalannya waktu.
Lebih baik aku menulis...ya...menulis membuat pikiranku menjadi nyaman dan tenteram.


Aku tahu kau kagumi diriku
Aku tahu kau curi pandang padaku
Aku tahu kau menginginkanku
Aku tau kau memimpikanku
Aku tau kau suka padaku
Aku tau kau memiliki rasa untukku
Tapi aku baru tahu…
Kau terlalu pemalu untuk menyatakannya
Padaku…
***
















SURAT BERAMPLOP UNGU

Aku duduk sendiri
Menatap kagum kemilau senja
Yang menyimpan sejuta keindahan abadi

Mentari meredup di ufuk barat
Menjemput kekelaman yang kunanti
Angin berhembus menggoda
Penuh harapan selamanya

Ombak berlari mengejar pantai
Seolah tepian pasir putihkan menjauh dari kejarannya
Camar mengangkasa menebas luas cakrawala
Membawa rinduku akan dirinya

Lampion China menghiasi malam yang telah datang
Cahayanya merekah menebar kehangatan malam
Seluruh kota bernyanyi meneriakkan kebahagiaan

Rembulan menampakkan kegagahannya
Kerlip bintang malam menyejukkan dawai hati yang lara
Aku berdiri sendiri
Menunggu dirimu
Di bawah kemilau langit…
***
Mata-mata itu masih menatapku. Tanpa memberi ruang gerak sedikitpun untukku. Padahal sudah dua bulan sejak peristiwa aku digosipakan. Apa mereka tidak capek? Aku saja merasa sangat penat dengan ini semua.
Gak terasa sudah hampir tiga tahun aku sekolah di sini. Banyak suka duka yang aku alami di sini. Begitu berat rasanya untuk meninggalkan sekolah ini. Terutama meninggalkan orang yang kukagumi, si Pelamun di sudut kelas dan beberapa kenangan tentang dia yang mungkin tak akan pernah kulupakan seumur hidupku.
Senin depan aku sudah mulai ujian kelulusan atau lebih dikenal dengan sebutan Ujian Nasional. Perasaanku berkecamuk dan berkolaborasi menjadi sesuatu yang membingungkan dan sulit kutebak sekalipun aku yang memiliki perasaan itu.
Aku bingung menghadapi ujian ini, tapi di sisi lain aku juga memikirkan urusan asmaraku. Oh, no! Jangan sampai, gara-gara hal sepele yang disebut cinta pendidikanku yang amat sangat penting ini terabaikan! Jangan sampai deh…
Doain aku ya, semoga aku bisa lulus dengan hasil yang memuaskan. Supaya aku bisa masuk ke Universitas negeri yang sudah lama kuimpikan.
“Hei! Ngelamun aja loe!’
Suara cempreng yang sangat akrab ditelingaku membuyarkan lamunanku. Kayak gak ada kerjaan lain aja. Gangguin orang mulu!
Aku menoleh. “Apaan sih? Ganggu aja!”
“Nih ada surat buat loe dari admirer loe.”
Dahiku berkerut. Rasanya aku gak punya admirer tuh. Siapa ya yang ngasih surat ini padaku?
“Dari siapa ?”
“Baca aja.”
Kemudian Putra berlalu dari hadapanku, setelah sebuah senyuman lucu diperlihatkannya padaku.
Ada pendapat yang mengatakan kalau true love adalah sesuatu yang abstrak, tidak dapat diungkapkan dalam bentuk kata-kata tapi dapat dirasakan dalam bentuk kebahagiaan, kesedihan dan penderitaan. Dan ada pula beberapa pendapat yang mengatakan kalau makna true love itu adalah….memiliki seseorang yang kita sukai.
Namun bagiku, true love adalah membiarkan seseorang yang kita sayangi untuk bebas menentukan pilihannya, tanpa ada paksaan dan melepasnya pergi untuk bisa membuatnya bahagia.
“Cie…dapet surat ya…”
Aku melirik gadis di sampingku sambil tersipu malu. Kurasakan pipiku menghangat. “Apaan sih loe…”
Aku segera menjauh dari Chika. Karena kelihatannya surat ini sangat menarik. Dan aku gak mau kalau diganggu oleh Chika yang sok tahu!
Hmm….diam-diam aku tersenyum. Sembari memikirkan siapa kira-kira yang memberi surat ini padaku.
Aku menghentikan langkah tepat di bawah pohon mangga di samping kelasku. Sepertinya sudah aman nih!
Tanpa pikir panjang lagi, aku segera membuka amplopnya yang berwarna ungu. Tapi, betapa terkejutnya aku saat melihat isi amplop itu. Emang sih gak ada yang aneh di dalamnya. Hanya saja ada dua surat di dalam amplop itu. Gak nyangka, ternyata ada juga orang yang segitu sukanya padaku. Kok aku jadi narsis sendiri? Padahal kan belum tentu ini surat cinta. Iya kan? Mendingan aku langsung aja baca surat pertama.
Namun, aku segera mengurungkan niatku. Karena seseorang yang amat menyebalkan tiba-tiba saja sudah berada di depan mataku! Jangan sampai makhluk jahil ini mengetahui kalau aku baru saja mendapat surat dari seseorang.
Maka dari itu, aku segera menyembunyikan surat ini dibalik saku rokku. Mudah-mudahan dia gak melihat!
Aku melirik dongkol ke arahnya. “Ngapain loe?” tanyaku jutek.
Cowok yang berada di hadapanku kini, menggeleng penuh semangat. “Gak ada.”
“Ya udah! Pergi sono! Eneg tau gak lihat muka loe!”
Tapi, ia masih tetap pada posisinya semula. Tetap tersenyum. Malah lebih sumringah daripada biasanya.
Dan pada akhirnya aku memutuskan, akulah yang akan meninggalkan tempat ini. Karena bila menunggu dia, jangan harap!
“Dini!” ia mencekal lenganku.
Aku menoleh tak suka padanya. “Lepasin! Rese banget sih loe!”
Mario melepaskan cekalannya. Tanpa menunggu kata-kata yang akan keluar dari mulutnya, aku segera meninggalkannya.
Namun, cowok tengil itu malah mengikutiku. Aku meliriknya dengan tatapan memohon. Karena aku yakin, kalau aku memaki-makinya dengan umpatan, Mario gak akan pernah menuruti kata-kataku.
“Please, jangan ganggu gue…” kataku dengan nada memohon.
“Gue gak kan ganggu loe lagi, asalkan loe mau maafin gue.” Mario nyengir jahil sambil menaikkan kedua alis matanya.
Aku terdiam sejenak mendengar jawaban Mario. Jadi, dia masih memohon maaf dariku? Apa maafku sangat berarti baginya? Hmm…walaupun begitu jangan harap aku mau maafin kamu!
Aku membuang muka. “Sudahlah…”
“Please, maafin gue.”
“Gue belum bisa. Sebelum loe bisa menggantikan kertas terakhir yang diberikan Tiara!” kataku emosi.
Pandanganku tertuju pada Mario. Aku menatap matanya lekat-lekat. Tak ada lagi senyum jailnya ataupun kata-kata anehnya. Dimata itu, hanya ada sinar terluka dan kepedihan yang amat mendalam.
Lagi-lagi aku menjadi takut kehilangannya. Mario, aku belum bisa maafin kamu. Setidaknya untuk saat ini.
Dan kali ini aku benar-benar berlalu tanpa hambatan dari Mario.
***
Aku tiba di rumah saat langit mulai gelap. Malam ini gak ada bintang yang menyinari kegelapan. Padahal aku kangen banget akan kerlipnya yang menawan. Begitu banyak cerita yang ingin kuberi tahu pada bintang. Tapi, ia tak datang. Mungkin esok ia akan menemuiku untuk melepas rindu dan saling bertukar cerita.
Aku segera menaiki tangga. Bayangan surat tadi siang masih menari-nari dibenakku. Aku semakin penasaran dengan surat itu. Surat beramplop ungu.
Aku duduk disalah satu sisi tempat tidurku. Sebelumnya, aku menerka-nerka dulu apa isinya. Apa mungkin ini surat penembakan…atau surat biasa…atau…ah, sudahlah dari pada bingung lebih baik aku membuka surat ini.
Surat yang pertama berwarna merah.

Dear Andini…
Gue akui, terlalu banyak kesalahan yang telah gue lakukan ke loe. Dan gak gue pungkiri kalau loe gak bisa mamberi maaf untuk gue. Gue nyesel Din, udah bikin suatu kesalahan yang membuat loe membenci gue sampai detik ini.
Gue berterima kasih banget sama loe……juga Tiara. Kalian berdua adalah sahabat pertama gue saat gue baru datang ke Jakarta. Gue emang jahat! Tega-teganya masuk kekehidupan loe dan Tiara……kemudian menghancurkan semua kenangan antara loe dan Tiara.
Kertas itu. Gue sadar menghancurkan kertas itu adalah kebodohan terbesar gue. Gue nyesel……
Andai waktu dapat terulang lagi, gue pasti gak akan melakukan hal itu.
Suatu saat gue akan jelasin kenapa gue merobekkan kertas itu. Gue janji, saat waktu itu telah tiba…gue akan membuka semua rahasia yang selama ini gue sembunyikan.
Gue mohon, maafin gue…
                                    Your Friend,
                                      MARIO


Aku menutup surat yang baru ku baca ini dengan lesu. Aku kira surat beramplop ungu ini benar-benar dari admirerku. Ternyata…dari Mario. Benar-benar gak penting!
Setelah membaca surat dari Mario, perasaanku menjadi resah. Aku merasa Tiara amat membenciku karena aku gak pernah mau maafin cowok yang menjadi the first lovenya.
Tapi aku tetaplah aku. Aku gak bakalan merubah pendirianku, sampai Mario bisa menebus kesalahannya. Ya, Tiara terlalu berharga buatku. Terlebih kertas itu! Tapi, sayang…kertas itu telah menyatu dengan sampah-sampah lainnya.
Tok…tok…!
Tok…tok...!
Aku menoleh.  “Siapa?”  sahutku dari dalam kamar.
“Gue, cepetan buka!”  suara cempreng Dodon membalas sahutanku dengan tidak sabar. Dasar usil! Aku yakin, kakakku yang lagi menyusun skripsi itu mau pinjam uangku lagi. Biasa, lagi punya pacar baru. Bawaannya pengen traktir mulu!
Aku bangkit dan melangkah membuka pintu dengan perlahan. “Iya, bentar. Gak sabaran amat sih.”
 Aku menatap Dodon sejurus, “Ada apaan sih?”
Cowok cute itu langsung nyelonong masuk ke kamarku tanpa basa-basi. Kemudian ia duduk di kursi dekat meja belajarku.
“Din, loe ada waktu gak?”
Tumben dia nanyain aku ada waktu atau gak. “Emang kenapa? Ada yang penting ya?”
 Dodon menghela nafas berat. Ia menatapku dengan penuh kasih sayang. Lalu ia mengangguk.
 “Tentang apa?” tanyaku penasaran.
“Tentang…Bunda.”
Aku semakin bingung dengan pembicaraan yang makin berbelit-belit ini. Apa lagi menyangkut Bunda. Apa yang terjadi padanya?

“Kenapa dengan Bunda?”  Kak Doni alias Dodon tampak begitu salah tingkah. Dan perasaanku mengatakan ada yang gak beres!
“Makanya, loe ada waktu gak?”
Aku berpikir sejenak. “Ada sih, loe mau ngajak gue jalan? Malam ini?”
“Gak malam ini…tapi lusa. Loe bisakan temani gue. Tapi, loe jangan bilang Bunda, oke!”
Aku semakin bingung. Ada apa sih sebenarnya?
Kak Doni terdiam dan beberapa saat kemudian ia keluar dari kamarku tanpa berucap sepatah katapun. Dan perasaanku makin gak enak saat menatap mata Kak Doni sekali lagi. Di mata itu tiada lagi keceriaan. Hanya kegetiran kelabu yang mewarnai keredupan matanya.
Setelah kusadari bahwa Kak Doni benar-benar sudah gak ada lagi di kamarku. Aku segera membuka jendela kamarku dan duduk seraya menatap langit.
Ku biarkan angin malam yang dingin membelai rambutku. Aku pasrah saat cahaya bulan yang temaram merasuki tubuh mungilku. Yang kini ada di dalam pikiranku hanyalah Bunda dan Kak Doni. Perkataan Kak Doni tadi benar-benar mengusik khayalanku tentang surat dari Mario.
Sebenarnya ada apa dengaan Bunda? Kenapa Dodon gak mau menceritakannya padaku? Mengapa harus menunggu dua hari lagi? Apakah yang akan dikatakan Dodon nanti akan membuatku tersakiti? Aku sudah gak sabar menunggu dua hari lagi…
Kembali kesurat tadi. Surat beramplop ungu dari Mario. Sekilas surat ini terkesan biasa saja. Namun, aku merasa ada kekuatan besar pada coretan-coretan itu, yang membuatku yakin bahwa ada kejujuran yang tersirat di dalamnya. Tapi, aku gak tahu pasti. Bisa jadi ini hanya perasaanku saja. Iyakan?
***
Miss Putri memasuki kelasku dengan langkahnya yang anggun dan penuh wibawa. Ia adalah salah satu dari beberapa guru muda yang amat disenangi murid-murid sekolahku.
Miss Putri menebarkan senyumannya yang manis ke arah kami semua. Aku selalu berdecak kagum tatkala melihat senyumannya itu.
Good morning students…”Sapa Miss Putri lantang.
Good morning mam…”
“How are you today?”
“We are fine, and you?”
“I am too. Thank you.”
Miss Putri mengeluarkan buku teks bahasa Inggris yang bersampul hijau dari tasnya. Ia membuka halaman demi halamannya dengan tergesa-gesa. Hmm…tidak seperti biasanya Miss Putri bersikap seperti ini. Miss Putri yang kukenal sangat tenang.
Setelah ia menemukan halaman yang dimaksud, ia mengambil spidol dari kotak pensilnya dan menuliskan sesuatu di papan tulis.

KERJAKAN LATIHAN HALAMAN 122 TASK B DAN C.

Setelah selesai menuliskan sebuah kalimat dalam bahasa Indonesia, ia memasukkan kembali buku teks bahasa Inggris ke dalam tasnya.
“Hari ini saya harus pergi ke Rumah Sakit, karena ayah saya sedang dirawat di sana. Maka dari itu, saya minta kalian mengerjakan tugas ini dengan baik, minggu depan akan saya periksa. Saya percaya kalian akan tenang di dalam kelas dan mengerjakan tugas ini dengan sebaik-baiknya. See you next week.”
Kemudian Miss Putri keluar dari kelas yang disambut dengan sorak sorai kemenangan, karena artinya tiga jam pertama hari ini kami bisa bersantai.
“Asyik…gue bisa gosip lagi!” seru Chika tepat ditelingaku.
Aku menoleh menatap Chika sedikit geram. “Miss Putri nyuruh kita ngerjain tugas, bukan ngegosip. Gak ada untuknya ngegosip! Lebih baik loe buat tuh tugas! Lebih bermanfaat.”
Chika menghela nafas. Lalu ia menyelipkan helaian rambutnya ke belakang telinganya. “Andini sayang loe taukan gue ini gak bisa hidup tanpa gosip.”
Aku mengedikkan bahu dan mulai membuka buku latihanku. Selain aku gak hobi ngegosip, aku lagi pengen ngerjain tugas. Karena kebetulan, tugas yang diberi Miss Putri kali ini gak terlalu susah.
Aku melirik Chika yang sedari tadi masih menatapku. Mungkin dia mengira aku akan tertarik dengan kebiasaannya satu ini.
“Din, gue mau curhat sama loe.”
 “Tumben loe mau curhat dengan tampang serius banget.” kataku meledek.
“Din, gue serius! Gue lagi bingung banget!”
Kali ini aku gak berani meledek gadis di sebelahku ini. Aku menatap Chika lekat-lekat. Ada keseriusan di mata itu.
Gadis manis itu menopang dagu. Ia menatap lurus ke depan. “Loe pernah gak ngerasain kangen banget sama seseorang?”
“Hmm…Pernah.”
Mata Chika langsung melotot mendengar jawabanku.
“Hah? Sama siapa?” tanyanya antusias.
“Tiara.” jawabku pendek. Mungkin ia mengira aku gak pernah merindukan seseorang. Makanya ekspresi kekagetannya terlalu berlebihan.
Chika menarik napas dalam-dalam. Kemudian ia memukul dahinya. Memangnya aku salah ngomong ya? Memang aku pernah kok merasa kangen sama seseorang dan orang itu adalah Tiara. Apanya yang salah sih?
“Bego! Bukan itu maksud gue…”
“Trus?”
“Kangen sama cowok!”
Aku menggeleng cepat. Buat apa aku merindukan cowok yang gak jelas juntrungannya. Iya kalau dia juga merindukan aku, kalau gak?! Malu dong!
“Loe berada dalam satu lingkungan yang sama dengan dia, kemudian seiring dengan berjalannya waktu, loe merasa pertemuan loe di lingkungan tersebut terasa sangat kurang. Loe pengen lebih dari itu. Dan tiap malam loe selalu ingin menemui esok dengan segera. Karena loe udah gak sabar buat ketemu dia. Sampai-sampai hampir tiap malam loe mimpiin dia.”
“Ceile…romantis banget loe hari ini. Kesambet di mana sih?” godaku sambil menggamit lengannya.
“Din, gue serius!”
“Wah, gue sukanya Ungu tuh. Gimana dong?!”
Chika memandangku dengan jengkel.
“Iya, maaf.”
Aku berpikir keras. Kangen, rindu…mimpiin. Ingin segera bertemu…apa ya?
Tunggu dulu! Aku pernah merasakannya. Saat SMP dulu. Ketika aku masih bersahabat dengan Mario. Dan orang yang kurindukan itu adalah…Hmm…Mario.
Ah…! Gak! Aku gak boleh mengingat-ingat itu lagi. Aku harus mengubur semua kenangan itu. Ya, semuanya. Kecuali Tiara. Karena Tiara gak akan pernah bisa kulupakan. Sampai kapanpun.
“Loe pernah gak merasakan hal seperti ini?”
Aku angkat bahu. Aku terlalu takut untuk mengatakan yang sejujurnya walaupun pada Chika, sahabatku sendiri. Aku malu untuk mengakui bahwa aku masih…ah! Jangan ingat itu lagi!
“Gimana sih? Harusnya loe itu bilang pernah atau gak!”
Kok jadi Chika yang sewot sih? Terserah aku dog?!
“Gue gak pernah merasakannya, tapi gue pernah mimpiin dia. Tiap bertemu dengan dia rasanya…”
“Deg degkan?” tanya Chika semangat.
“…hmm biasa aja tuh.”
Chika melengos mendengar jawabanku. Mungkin dia gak setuju dengan pendapatku.
“Hei…boleh gabung gak?”
“Duduk aja.” kata Chika ramah.
 Putra duduk di meja depanku. “Kalian tadi lagi ngomongin apaan sih?”
“Chika lagi kangen.” kataku apa adanya. Lagi pula, sebagai umat beragama, kita dilarang untuk berbohong. Ya gak?
Putra memandang Chika dengan pandangan jahil. Kemudian makhluk hitam manis itu bersuit-suit genit.
“Suit…suit..ada yang lagi kasmaran nih?!”
Dan bagaimana reaksi Chika? Ekspresinya menakjubkan banget! Pipinya sudah seperti kepiting rebus! Tiba-tiba aja dia jadi salah tingkah sendiri.
“Apaan sih loe.” katanya merajuk.
“Siapa sih orangnya?” goda Putra seraya mengedipkan sebelah matanya.
Chika menerawang. Pandangannya jauh. “My Secret…yang jelas gue yakin dia The first love gue.”
“Andini!” aku menoleh ke jendela. Ada seseorang yang memanggilku di luar sana. Seorang cowok jangkung yang langsung menjadi pusat perhatian teman-teman .
Aku melirik Chika yang hanya tersenyum. Namun senyum itu aneh! Menurut analisisku, senyum Chika itu menyimpan kesedihan dan kekecewaan yang berbaur menjadi satu.
“Loe dipanggil Mario tuh.”
Aku mendengus kesal mendengar perkataan Chika. Kenapa sih semua orang selalu membela Mario? Apa sih hebatnya dia?
“Biarin aja, anggap aja dia gak ada.”
Putra menggeser posisi duduknya lebih dekat denga Chika. “Loe kok gitu sih?”
“Kenapa sih, kalian menbela Mario terus?”
“Bukannya membela…tapi…” Chika tidak melanjutkan kalimatnya.
“Chika, loekan tahu gue benci banget sama dia. Gue dendam sama dia!”
Chika menepuk bahuku dengan lembut. “Tapi, minimal loe mau nyamperin dia.”
“Sorry, gue gak bisa.” kataku ketus.
Namun tiba-tiba Chika dan Putra langsung menarikku menemui Mario. Dan apalah dayaku, sekarang aku sudah ada tepat di depan Mario. Gak mungkin dong aku berbalik dan masuk ke kelas! Bisa-bisa seisi kelas mengira aku benar-benar naksir dia lagi. Ih…amit-amit!
Samar-samar aku mendengar celotehan teman-temanku di dalam kelas. Ada yang bersorak norak, bersuit-suitan, teriak-teriak gak jelas…pokoknya rese’banget deh!
“Cie…Andini maruk! Satu-satu dong. Masa’Dhika juga, Mario juga…”
“Tinggalin buat kita dong…”
“Suit…suit…”
“Jatuh cinta…berjuta rasanya…”
Dalam hati aku berdecak kagum melihat tingkah laku teman-temanku yang tiba-tiba saja menjadi norak dan over acting! Gile, segitu banget sambutan mereka untuk Mario. Ck…ck…ck…
“Gue ingetin ya, loe jangan ge-er dulu. Bukan gue yang pengen nyamperin loe, tapi Chika sama Putra yang narik gue. So, loe mau apa cari gue? Mau bikin gue ngamuk lagi?!”
“Galak amat sih…tapi gue tahu kok, sebenernya loe itu gak galak. Jelas banget tau’…loe berusaha untuk kelihatan judes, tapi tetap aja loe gak pernah kelihatan seperti itu dimata gue.”
“Gak usah sok-sok merayu deh! Mau loe itu apa?”
“Gak ada kok, gue cuma kangen aja sama loe.”
Deg! Kenapa dadaku tiba-tiba saja berdebar begini? Apa yang terjadi padaku?
“Mau loe kangen, atau ngapain, bukan urusan gue!”
Aku bersiap-siap akan beranjak untuk masuk kembali ke dalam kelas. Namun kuurungkan niatku saat Mario mengulurkan selembar kertas tepat di hadapanku. Aku menatapnya dengan berjuta tanya. Namun cowok di depanku ini hanya mengedikkan bahunya seraya tersenyum simpul. Dan setelah itu, ia berbalik dan menghilang dari hadapanku.
Aku berdiri sendiri. Menatap bingung kertas yang kini berada tepat di tangan kananku. Astaga! Aku baru ingat, sampai detik ini aku belum sempat membaca surat Mario yang satunya lagi. Ah, sudahlah nanti aja di rumah.
Aku mulai membaca tulisan pada kertas yang diberikan Mario barusan dengan perasaan tak karuan.

….TERSENYUMLAH PADAKU…..

Dengan segera aku langsung merobekkan kertas dengan tulisan aneh ini sampai tak tersisa sama sekali.
Aku heran, amat sangat heran dengan sikap Mario padaku. Kenapa sih dia gak pernah bosan menggangguku? Emang sih, alasannya cukup rasional untuk terus ada di depanku. Tapi kan lama-lama aku bisa hmm…hmm…sudahlah!
Aku tersenyum sendiri. Dan aku merasakan semburat hangat yang mengalir di pipiku. Jantung yang sudah tak beraturan lagi…ah! Mikir apa sih aku ini. Ingat, Mario itu gak lebih dari seorang pengacau! Jangan sampai aku suka padanya!
Aku duduk di kursi sebelah Chika. Gadis manis itu menatapku dengan tatapan…hmm…mungkin sedikit aneh. Seperti ada sesuatu yang tidak disenanginya dariku.
“Ngapain loe lihatin gue kaya’gitu?”
Chika tersenyum sinis. “Gue heran aja sama loe.”
“Heran kenapa? Emang ada yang salah ya?”
Chika mengangguk tegas dan ia menyuruh Putra untuk menyingkir dari hadapannya.
“Kenapa sih?” tanyaku makin penasaran.
Gadis centil bertubuh langsing itu mendekatiku dan berbisik mengerikan ditelingaku. “Loe gak kasihan apa. Udah empat tahun lebih loe jutek banget sama Mario!”
Aku terkesiap mendengar perkataan Chika. Kemudian, perlahan tapi pasti, aku menundukkan kepalaku dalam-dalam. Dari dulukan dia tahu alasanku membenci Mario. Tapi kenapa sekarang gadis ini malah membela cowok yang kubenci setengah mati?! Aku kira hanya aku dan Chika yang dapat menghindari pesona menyebalkan Mario yang menurut para cewek amat sangat mengagumkan. Tapi ternyata, Chika juga gak bisa menampik pesona Mario. Ups! Jangan ge-er dulu ya, Mario.
“Loe kan tau alasan gue.” jawabku datar tanpa mau memandang sahabatku ini.
Chika bangkit dari kursinya. “Gue tahu, tapi kenapa harus selama itu?” suara Chika meninggi membuktikan kekesalannya atas jawabanku.
Aku menatapnya penuh emosi. “Karena gue belum bisa melupakan kejadian itu! Kejadian itu terlalu menyakitkan buat gue. Coba kalau loe yang rasain! Pedih, tahu gak!”
“Sampai kapan loe mau begini terus? Gue tahu ini pedih. Tapi gak perlu segitunya dong, loe membenci Mario!”
Aku berdiri dari kursiku. Menatap Chika dengan penuh kekesalan.
“Apa peduli loe!”
Chika terdiam. Pandangan matanya nanar. “Loe sahabat gue. Dan gue peduli sama loe! Puas?!”
“Loe bohong! Bukan itu alasan sebenarnya, iyakan? Loe sukakan sama Mario! Ngaku aja deh loe! Gue kira loe bakal membela gue. Tapi ternyata, loe musuh dalam selimut!”
Chika menatapku dengan tatapan kecewa. Matanya berkaca-kaca. Sama halnya denganku.
“Gue sayang sama loe, gue peduli sama loe!Gue gak mau loe jadi pendendam, karena loe pasti bakalan menyesal!”
Sedetik kemudian tiba-tiba saja Chika menjadi salah tingkah. Dan itu membuatku semakin curiga kalau Chika memang menaruh hati pada Mario. Ya, aku yakin.
Seketika, Chika memelukku dan menumpahkan air matanya dibahuku.
“Maaf in gue, Din…jangan bicarain masalah ini lagi, ya.” bisik Chika perlahan namun menyejukkan hatiku.

***

Aku tengah berbaring di kasurku nan empuk sambil membuka lipatan surat Mario.

GUE PASTI BISA MEMBUAT LOE MAAFIN GUE…KARENA GUE…LOE AKAN TAHU NANTI, ANDINI…LOE PASTI MAAFIN GUE. GUE YAKIN!

Surat Mario yang satunya lagi barusan kubaca. Tulisannya masih terngiang-ngiang di dalam benakku. Kepedean amat sih tuh orang! Emangnya dia yakin aku bakal maafin dia? Belum tentu!
“Udah siap?” tanya Kak Doni padaku.
Aku mengangguk dan berjalan keluar dari kamarku bersama Kak Doni.
Malam ini aku dan Kak Doni sepakat untuk pergi ke suatu tempat. Tempatnya sih aku gak tahu. Tapi kata Kak Doni ada sesuatu yang bakalan membuat kehidupanku berubah.
“Emang ada apa sih di sana?” tanyaku penasaran.
“Yang pasti loe bakalan seneng.”
“Tapi kenapa Bunda gak boleh tahu?”
Kak Doni tersenyum penuh misteri. Membuatku semakin penasaran akan hal yang terjadi padanya. “Bunda tahu kok, malah Bunda yang nyuruh kita ke sana.”
Aku menatap Kak Doni dengan perasaan jengkel setengah mati. “Jadi, loe ngerjain gue?! Rese banget sih loe…”
“Gak juga. Gue cuma bikin adek gue penasaran aja. Hehehe…”
Aku memukul bahu Kak Doni dengan gemas. Kak Doni udah berhasil membuatku mati penasaran….
Saat ini aku duduk di jok depan mobil Kak Doni. Pandanganku tertuju pada purnama di atas sana. Ah! Purnama pertama di bulan April…Aku jadi ingat Tiara. Dulu, tiap purnama pertama tiap bulannya, aku selalu bermain putri-putrian di bawah sinar bulan yang indah. Terakhir aku bermain dengannya, saat itu aku menjadi putri Bintang…Tiara yang cantik menjadi putri Bulan. Ah…kenangan masa lalu membuatku hanyut untuk beberapa saat.
Aku baru sadar kalau kami sudah berada di tempat tujuan saat Kak Doni menarik tanganku untuk ke dalam sebuah café.
Di sebuah sudut café, aku melihat seorang wanita melambai ke arah kami. Di sebelah wanita itu, duduk seorang pria seusia ayah kalau masih hidup, dan seorang cowok yang kira-kira sebaya denganku.
 Namun, bukan itu permasalahannya. Tapi, mau apa Bunda bersama pria itu? Rekan bisnisnyakah? Atau lebih buruknya…dia adalah pengganti Ayah?
Oh, tidak! Aku gak bakalan setuju kalau dia adalah pengganti Ayah!

***

























WHO IS OM FARHAN?

Aku berjalan ke arah Bunda dan dua lelaki itu. Awas aja kalau sampai dia ada apa-apa sama Bunda…jangan panggil aku Andini kalau gak bisa menggagalkan itu!
Dengan tidak sabar, Kak Dodon mendorong tubuhku agar aku lebih cepat berjalan. “Ayo cepatan, Bunda udah  nunggu dari tadi tau!”
“Ih...gak usah dorong-dorong deh!” bisikku galak. Karena aku merasa enggan untuk menemui Bunda dan dua lelaki itu. Aku merasa ada sesuatu yang akan merubah kehidupanku setelah aku mengenal lelaki gak jelas itu! Tapi, apa ya?
Aku dan kak Doni duduk di hadapan Bunda. Pandangan curigaku gak lepas dari pria di sebelah Bunda.
“Nah, Dini…Doni…ini Oom Farhan sama anaknya Galang. Kenalan dong…” tegur Bunda lembut seperti biasa.
Aku mengulurkan tanganku pada Oom Farhan. “Dini, Oom.” kataku berusaha ramah.
Oom Farhan tersenyum padaku. “Wah, Dini udah gede ya. Doni juga. Dini udah kelas berapa?”
“Tiga SMA Oom…”
Oom Farhan manggut-manggut. Lalu berpaling pada kakakku.
“Kalau Doni?”
“Lagi nyusun skripsi Oom.”
“Kalau Galang, masih semester tiga jurusan kedokteran,” katanya seraya melirik lelaki muda yang duduk di sampingnya. Aku ikut memandangi wajah cowok di samping Oom Farhan yang tiba-tiba saja tersenyum kecut padaku. Awal yang tidak menyenangkan!
Aku berpikir sejenak. Pandanganku tak lepas dari wajah keren bocah itu. Anak kedokteran toh, pantesan tampangnya serius banget. Tanpa sadar lama kelamaan aku memperhatikannya dengan seksama. Kapan lagi lihat cowok keren nganggur. He…he…
Mungkin cowok berkacamata itu menyadari kekagumanku padanya. Dengan perlahan ia melepas kaca matanya, lalu tersenyum hangat. Senyum yang lebih bersahabat.
Namun entah mengapa senyumannya itu membuatku menjadi ingin muntah. Karena senyuman itu mengingatkanku pada senyuman saat pertama kali aku berjumpa dengan Mario! Maka dari itu, untuk menjaga kesopanan, aku ikut tersenyum. Tapi dengan terpaksa! Ingat, dengan terpaksa!
Aku meminum segelas juice jeruk. Rasanya tenggorokan kering banget. “Oh iya, emang Oom siapa sih?”celetukku nggak sopan.
“Dini…sopan dong,”  tegur Bunda tajam padaku.
Aku menunduk mendengar teguran Bunda yang amat menyudutkanku. “Maaf Bunda…”
“Gak pa-pa kok.” Oom Farhan tersenyum kecil, lalu meminum kopinya. “Oom ini temannya Ayah kamu.”
Jujur, aku masih penasaran dengan status Oom Farhan saat ini. Jadi..terpaksa deh, aku sedikit lancang nanya yang aneh-aneh. “Trus ngapain Oom ke sini?” aku melirik Bunda. Tapi Bunda balas menatapku dengan tatapan yang membuatku sangat takut.
Ah, peduli amat dengan itu. Yang penting sekarang aku tahu maksud Bunda mengajak aku dan Dodon ke sini. Ini jauh lebih penting.
“Emang ada apa sih Bunda? Ngapain kita kesini?” Tanyaku beruntun.
Bunda tersenyum sejenak ke arah Oom Farhan. Senyuman yang membuatku teringat Ayah.
“Gini lho, kalian setuju gak kalau Bunda…hmm…”
Deg! Pasti bunda mau kawin sama Oom Farhan gimana dong…
“Gak! Aku gak setuju!” Kataku nyaris berteriak.
“Dini, jangan seperti orang udik ya. Teriak-teriak gak jelas gitu!”
Aku menunduk malu.
“Pokoknya aku gak setuju Bunda. Aku mau pulang!”
Aku berdiri dari tempatku duduk tadi dan segera keluar dari café menyebalkan ini.
Amit-amit deh, kalau sampai bunda kawin dengan Om-Om gak jelas gitu. Semudah itukah bunda melupakan ayah?
Aku menaiki taksi biru yang baru saja berhenti tepat di depanku.
Hmm…aku ingin segera sampai di rumah memeluk foto ayah yang tergeletak lesu di samping tempat tidurku. Aku rindu ayah…aku ingin bercerita banyak pada ayah. Tentang bunda…sekolah…pokoknya semua yang ku hadapi hari ini.
Aku meraih buku tebal berwarna merah yang selalu menemaniku setiap saat. Tanganku sudah tak sabar untuk berimajinasi.

Satu bintang berpendar terang
Purnama bersinar temaram
Merpati malam bernyanyi…nyanyian yang merdu

Malaikat cinta tersenyum
Di bawah sinar rembulan ia menari
Ia bernyanyi…

Namun seorang gadis duduk sendiri
Memperhatikan tawa malaikat cinta
Ia tersenyum getir

Malaikat cinta mendekat
Mempersembahkan sebuah hati yang suci
Dan kini, gadis itu tidak sendiri lagi…

Aku tersenyum puas melihat hasil karyaku ini. Dan memasukkan kembali buku kesayanganku ke dalam tas.
Tak berapa lama kemudian perasaanku semakin tenang saat aku masuk ke dalam rumah. Akhirnya sampai juga…Udah gak sabar mau curhat sama ayah.
Aku segera masuk ke kamarku di lantai dua.
“Aku pulang Yah…” gumamku getir. Aku duduk disisi kiri tempat tidurku. Tanganku meraih foto ayah yang tergeletak tak berdaya di meja belajarku.
Aku memandangi wajah Ayah. Menatap mata teduhnya yang selalu berbinar-binar bahagia setiap kali aku tertawa. Mata itu sangat indah. Mata itu tak pernah menangis ataupun sedih. Mata itu selalu tersenyum untukku, Kak Doni…dan Bunda. Mata itu penuh kebahagiaan. Ketulusan dan…kejujuran.
Aku menarik nafas panjang. Kurasakan mataku mulai memanas.“Yah, aku rindu banget…”
Namun Ayah hanya diam tak bergeming.
“Yah…jawab dong…kapan kita bisa bertemu?”
Hanya desiran angin yang terdengar perlahan dari jendela kamar.
“Lihat bunda Yah, Bunda jahat! Bunda udah khianatin Ayah!”
Tanpa sadar, butiran air mata jatuh membasahi foto Ayah. Segera kuseka foto kenangan itu dengan tangan.
Aku menghela nafas dalam-dalam.
“Kalau Ayah bertemu Tiara, sampaikan salam sayang ku padanya. Katakan padanya kalau aku sangat merindukannya.”
Lagi-lagi foto itu hanya diam.
Aku meletakkan foto Ayah kembali ke tempatnya semula. Membiarkan ayah beristirahat dengan tenang.
“Jangan lupakan aku ya Yah…”
Namun Ayah masih diam. Membiarkan desiran angin lembut menjawab segala keluh kesahku.
***
“Bunda gak suka dengan sikap kamu ke Oom Farhan tadi malam! Dini, kamu itu udah besar…jangan kayak anak kecil dong!” Omel Bunda tanpa henti.
Aku hanya menunduk lesu mendengar ocehan Bunda yang berapi-api perihal masalah tadi malam.
Pagi ini Bunda benar-benar marah padaku. Sepertinya kesalahan yang kuperbuat benar-benar fatal dan mengecewakannya.
Ah…Bunda! Aku gak salah Bunda. Aku hanya gak mau ada pengganti Ayah di sini. Hanya itu, gak lebih! Aku gak meu ada orang lain di rumah ini mengantikan posisi Ayah dihati kita! Aku hanya ingin kenangan masa lalu bersama Ayah tetap abadi. Aku gak mau ada yang mengacaukan itu semua. Apa lagi harus menggantikan Ayah!
“Aku gak kayak anak kecil kok.” kataku gak mau kalah.
Mata Bunda melotot saking kesalnya.
“Udah salah, pake menjawab lagi! Apa coba namanya kalau gak kayak anak kecil! Mana ada orang dewasa yang langsung pergi saat seseorang sedang berbicara dengannya?!”
Aku diam tak bergeming. Oke, aku akui aku memang salah dalam hal itu. Tapi Bunda harusnya mengerti keadaanku saat itu. Aku gak siap bila harus mendengar bahwa akan ada pengganti Ayah.
“Dini! Ayo jawab!”
“Aku…gak…”
“Pagi tante…” Sapa seorang cowok yang suaranya sangat asing di telingaku. Aku menoleh, penasaran sekaligus jengkel dengan pemilik suara itu. Gara-gara suara menyebalkan itu, aku jadi gak bisa menyampaikan keinginanku yang sesungguhnya pada Bunda.
Betapa terkejutnya aku saat kudapati bahwa pemiliknya adalah cowok yang tadi malam! Dan ia barusan keluar dari kamar tamu. Apa semalam dia tidur di sini? Mau ngapain dia?
Aku kembali menatap Bunda. Di mata itu, gak ada lagi sinar kemarahan yang beberapa saat yang lalu masih menghiasi wajah ayu Bunda.
“Pagi Galang…”
Cowok itu memakai kaca mata berbingkai kotaknya dengan perlahan. “Doni mana Tante?”
“Lagi di kamarnya, masuk aja.”
Ia melirikku sesaat, lalu tersenyum manis. Manis? Sok manis iya!
Lalu si Galang yang sok manis dan sok baik…sok ramah…sok kecakepan itu, langsung naik ke lantai dua menuju kamar Dodon. Ternyata Galang gak terlalu serius yang ku bayangkan. Aku pikir, anak kedokteran itu cupu, kutu buku dan pendiam. Hmm…
Gak berapa lama lagi dia pasti bakalan menjadi saudara tiriku. Lihat aja sekarang, baru semalam dia di sini, tatapan Bunda padanya begitu perhatian. Membuatku iri saja! Apalagi nanti, bisa-bisa semua kasih sayang Bunda tercurah untuknya, tanpa tersisa sedikitpun untuk gadis malang sepertiku! Oh…malangnya diriku…
“Dini…Bunda harap kamu setuju Galang tinggal di sini. Asal kamu tahu ya, Oom Farhan itu sudah menitipkaan Galang pada Bunda. Kasihan dia, harus tinggal di Indonesia sendirian.”
Aku menatap Bunda dengan kekesalan yang sengaja ingin kutampakkan. “Terserah Bunda deh!”
Aku berjalan menaiki tangga. Lebih baik aku di kamar membayangkan suatu keajaiban terjadi.
Misalnya, Harry Potter datang dan mengucapkan mantra penghilang, atau mantra supaya Galang bisa terbang menjauh dari rumahku. Atau Naruto dan Sasuke tiba-tiba saja mengunjungiku dengan alasan turut prihatin padaku. Lalu Naruto mengeluarlkan jurus seribu bayangannya. Dan Galang akan terlempar jauh ke planet aneh, sama kayak tampangnya! Atau aku harus mengajak Doraemon ke rumahku dan menyuruh Galang mengajari Nobita matematika. Secara, Galangkan anak kedokteran. Atau parahnya, aku hanya duduk di tepi jendela kamarku bertopang dagu sambil senyam-senyum gak jelas, sembari menunggu saat-saat menakutkan tiba…saat Bunda melepas masa jandanya. Oh, Tuhan!
Kring…!
Kring…!
Suara telepon di ruang tengah membuatku mengurungkan niatku ke kamar.
Aku mengangkat telepon dengan malas.
“Hallo…”
“Hallo, Andini ya?”
“Iya, ini siapa?”
“Ini gue, Mario.”
Tiba-tiba saja aku merasa darahku mendidih. Dari suaranya, aku yakin sekarang dia sedang memamerkan seulas senyumannya yang membuat getar-getar aneh didadaku sekaligus membuatku merasa sangat jengkel.
“Mau ngapain loe!”
Terbayang didalam benakku…Mario sedang cengar-cengir gak jelas sambil berusaha membuatku yakin dengan setiap kata yang akan terucap pasti dari bibirnya.
“Loe udah baca surat-surat gue kan? Gimana jawaban loe?”
Aku mendengus kesal, lalu berkata sinis padanya. “Sorry ya, sampai kapanpun, gue gak bakalan maafin loe…sampai loe… bisa mengembalikan kertas itu ke gue!”
“Tapi…”
“Kenapa? Loe keberatan?”
“Gak kok. Cuma, loe kan tahu gue gak bisa melakukan itu semua.”
“Kenapa gak bisa?” tanyaku meledek. Aku memang tahu, kalau Mario gak mungkin bisa membuat kertas itu utuh kembali. Tapi, kalau dia memang benar-benar butuh maaf dariku, ya…harus berusaha dong!
“Ayolah, lupain aja. Itu hanya sebuah kertas.”
Aku terkesiap mendengarnya. Sebuah kertas katanya? Apa dia gak pernah mikir, gara-gara kertas itulah aku kehilangan sahabat yang sangat aku sayangi.
“Eh! Denger ya, kalau loe gak niat minta maaf, mending loe gak usah minta maaf ke gue! Ngerti loe! Satu lagi, kenapa sih loe ngebet banget minta maaf sama gue?!
“Karena gue pengen aja.”
Sambungan langsung kuputuskan. Jawaban yang sangat tidak rasional. Kalau hanya pengen, pasati dia gak bakal terlalu ngebela-belain minta maaf dariku. Pasti ada apa-apanya nih.
“Siapa Din?”
Aku menoleh. “Mario.”  sahutku pendek pada kakakku.
“Masih marahan sama dia?”
Aku mengangguk.
“Loe juga keterlaluan Din.”
“Maksud loe?” aku sungguh gak percaya dengan apa yang baru saja dikatakan kak Doni alias Dodon. Bisa-bisanya Dodon ikut-ikutan membela Mario. Apa sih hebatnya Mario? Sampai-sampai seluruh manusia membelanaya?!
Aku gak habis pikir, kenapa begitu banyak orang yang menaruh simpatik padanya. Padahal dia adalah satu-satunya orang yang sudah merebut kebahagiaanku dan persahabatanku dengan Tiara. Kalau saja dia gak pernah datang ke dalam kehidupanku dan Tiara…pasti semua ini gak bakalan terjadi!
“Loe Childish banget. Cobalah dewasa, loe itu udah hampir delapan belas tahun! Jangan jadi orang yang pendendam kayak gitu. Gue yakin kalau Tiara masih hidup, pasti dia setuju dengan apa yang gue bilang ini.”
“Gue gak yakin!”
“Gue setuju dengan apa yang dikatakan Doni.”
Aku melirik manusia di samping Dodon. Mau apa dia? Ikut campur saja! Jangan memtang-mentang udah dianggap keluarga kamu jadi bebas ngurusin urusanku. Mungkin yang lain mau menganggap kamu keluarga, tapi aku…never!
 Aku bingung, kenapa ya ada orang yang sikapnya mirip banget sama Mario. Menghadapi Mario di sekolah saja sudah membuatku pusing, nah sekarang? Ada Galang yang bakalan membuat hari-hariku semakin kelabu.
Aku berkacak pinggang menatap Galang sambil melotot ganas ke arahnya. Aku paling gak senang jika ada orang yang suka ikut campur dengan urusanku.
“Loe gak usah ikut campur dech!” seruku galak bin marah padanya.
Ia tersenyum sedikit. Lalu melepas kaca matanya. Membuat ia lebih manis dan menarik.
Hah? Menarik? Huekkk….buang jauh-jauh kata itu! Gak ada satupun cowok yang menarik dimataku kalau mereka suka ikut campur dengan urusanku!
“Gue gak ikut campur. Cuma, gue gak setuju dengan pendapat loe.”
“Apa urusan loe?”
“Gak ada.”  katanya santai.
“Dini, Galang ini udah jadi anggota keluarga kita. Jadi, dia berhak tahu tentang masalah-masalah kamu.”
Aku tertawa geli. “Keluarga?! Keluarga dari Hongkong?!”
“Aku dari Jerman, bukan Hongkong.”  
Hampir saja aku terjatuh mendengarnya. Tidak mengertikah dia kalau perkataanku barusan bukan pertanyaan, tapi ledekan. Lebih tepatnya sindiran. Supaya dia sadar kalau aku gak pernah menganggap dia sebagai anggota keluarga di rumah ini.
“Mau dari Jerman, Hongkong, Belanda, atau apapun juga, bukan urusan gue. Jadi, gue ingatin sama loe, loe gak usah ikut campur urusan gue, kalau loe masih betah di sini!”
Aku berlalu dari hadapan dua cowok itu. Aku jadi heran dengan diriku ini. Kenapa akhir-akhir ini aku jadi mudah emosian begini ya? Inikan bukan Andini yang sebenarnya!  Aku jadi bingung sendiri. Atau mungkin ini karena efek datang bulanku? Hmm…bisa jadi sih. Tapi ada yang lebih tepat lagi…
Mario! Yah, pasti gara-gara dia…Yang ini pasti benar! Dasar pembawa bencana….
Mario…..sampai kapan kamu mau menghantui hari-hariku! Jangan ganggu aku dong!
***
Pagi ini aku merasa ada yang lain dariku. Tiba-tiba saja aku merasa dunia memusuhiku. Entah kenapa, aku gak tahu …
Dhika, kueja nama itu perlahan sambil membayangkan senyumannya. Namun, seketika perutku terasa dililit. Dhika yang menyebalkan! Memuakkan!
Akhir-akhir ini, aku mulai muak dengan sikapnya dan caranya menatapku. Jujur, aku sendiri gak begitu mengerti dengan keadaan ini. Tapi, yang jelas aku akan berusaha menghindar dari tatapan Dhika.
“Hai Din! Ngelamun aja loe!”
Aku melirik Chika sejenak, kemudian memberinya seulas senyuman yang menurutku lumayan indah untuk ku persembahkan pada sahabatku yang centil ini (narsis dikit boleh lah).
“Ngelamunin apaan sih?” Chika berjalan di sampingku tanpa mau berhenti memandangku dengan tatapan penasarannya.
Aku menggeleng lemah ke arah Chika.
“Gue lagi bete aja di rumah.”  jawabku asal.
Chika menatapku ingin tahu. “Bete kenapa?”
Aku menghela nafas dalam-dalam. Rasanya gak ada salahnya kalau aku cerita sama Chika. “Gini lho, gue…” omonganku terhenti saat pandangan mataku tertuju pada sosok tinggi di depanku.
Ah, Dhika. Aku menggerutu kesal dalam hati. Mau ngapain sih dia?
Kemaren malam Dhika dan Putra datang ke rumahku. Mungkin mau pedekate. Tapi sikapnya yang seperti itu membuatku makin ilfeel padanya. Aku gak suka kalau didekati seperti itu!
Dhika mendekatiku.“Din, gue ada perlu sama loe.”
“Ya udah, ngomong aja.” sahutku datar tanpa ekspresi.
Aku memandang Dhika sebentar untuk melihat ekspresi diwajahnya. Dan ternyata, dapat kutangkap ada sinar kekecewaan dan keterkejutan yang terpancar dari kedua matanya.
“Gue…gue gak bisa ngomong di sini.”
“Emang ada apaan?”
Chika menyentuh bahuku, membisikkan sesuatu.“Gue duluan ya, Din.” Lalu gadis itu menjauh ke kelas. Membuat aku semakin terjepit dengan situasi memuakkan seperti ini.
“Dini…I like you and can you to be my girl?
“Maksud loe?”
Keringat sebesar biji jagung mengalir di muka Dhika. Pasti dia benar-benar salah tingkah.
“Ya, gue…gue…”
“Gue…apaan?” tanyaku menyudutkannya.
“Gue…gue…ntar gue sambung lagi deh, gue masuk duluan ya.”
Dhika menghilang dari pandanganku. Kini, aku sendiri. Masih belum percaya dengan apa yang dikatakan Dhika barusan. Ternyata Dhika berani mengungkapakan perasaannya padaku. Tak seperti yang kupikirkan selama ini.
Tanpa buang-buang waktu lagi aku masuk ke kelas. Pikiranku seakan diaduk-aduk. Gak tahu lagi yang mana harusku pikirkan terlebih dahulu. Hmm…dan pikiranku semakin membuatku muak saat mengingat bahwa ada satu masalah lagi di rumah. Siapa lagi kalau bukan anak baru yang bakalan menjadi saudara tiriku. Ah, menyebalkan!
Aku duduk di kursiku. Dan kudapati Chika melotot aneh kepadaku. Biasanya, dia bakalan seperti itu kalau penasaran dengan apa yang baru saja terjadi padaku, sementara dia gak ada di tempat kejadian.
Dugaanku benar. Baru saja aku akan mengeluarkan buku catatan berwarna merah kesayanganku, Chika langsung menggeser posisi duduknya lebih dekat denganku.
“Mana laporannya?” tanya Chika galak.
Aku menatapnya dengan tatapan lugu. Sebenarnya, sok lugu.“Laporan apa? Perasaan tadi aku gak lagi meliput berita kriminal tuh!”
Chika mendengus kesal.“Gimana sih loe. Yang tadi…Dhika ngomong apa sama loe? Apa dia nyatain perasaannya, gitu?!”
Aku tersenyum kecut. Sembari membuka buku merah kesayanganku.“Oh, itu. Gak penting kok.”
“Gak penting gimana maksud loe?”
Aku menghela nafas. Ternyata sahabatku satu ini tingkat keingintahuannya terhadap hal-hal yang sangat tidak penting, sangat besar. Cocok banget nih, kalau Chika jadi wartawan gosip!
“Dia cuma bilang… I Like you and can you to be my girl?”  kataku berusaha sesantai mungkin.
“Hah? Serius loe?”
“Udah gue bilang, gue sukanya Ungu, bukan Seurius!”
Chika memukul dahinya. “Bukan itu maksud gue! Loe beneran ditembak Dhika?”
“Kalau gue ditembak, pasti gue mati. Buktinya, gue masih di sini kan. Masih bisa gangguin sobat gue yang centilnya gak ketulungan.”
Chika cemberut. Membuatku terkikik geli melihat tampangnya yang mirip anak kecil sedang ngambek.“Ya, Dhika emang bilang gitu kok sama gue. Gak ada gunanya gue bohong.”
Chika sumringah. Sementara aku mulai membuka halaman-halaman buku kesayanganku dengan lesu.
“Trus? Loe nerima dia kan?”
Aku menatap Chika sejurus, kemudian menggeleng.
“Gue baru sadar, kalau gue gak suka sama dia. Gue cuma mengagumi Dhika. Gak lebih!”
Chika semakin gak mengerti. “Bukannya loe suka sama dia? Akhir-akhir inikan loe sering salah tingkah kalau ketemu dia.”
 “Gue nyangkanya sih gitu. Tapi, itulah penyebabnya gue bete.”
“Trus loe ngomong apa ke dia?”
Aku meraih bolpoin warna merah kepunyaan Chika lantas segera menulis.“Gak ada. Setelah ngomong gitu, Dhika langsung ke kelas.”
“Pasti di bete banget sama loe. Loenya sih…ngasih harapan.”
Aku menoleh. Gadis itu malah bertopang dagu sambil cengar-cengir gak penting.
“Kok loe malah nyudutin gue sih? Gue gak pernah ngasih harapan kok.”
Chika manggut-manggut. “Trus kenapa loe selalu baik sama dia?”
Aku berpikir sejenak.
“Kenapa lo kayak gitu sama dia?”
“Karena gue menganggap dia sama dengan yang lainnya.”
Gadis manis itu manggut-manggut lagi. Sok ngerti amat sih nih cewek. Palingan bentar lagi dia nanya pertanyaan yang sama
“Trus kenapa loe bete sama Dhika?”
Aku mengedikkan bahu. Karena aku sendiripun juga gak mengerti. Tiba-tiba aja perasaanku yang dulu pernah ada untuk Dhika telah sirna. Aku baru sadar kalau selama ini aku hanya sekedar kagum saja padanya. Siapa coba yang gak kagum sama Dhika. Udah tajir, pintar, baik lagi. Tapi, itu dia…semua itu sudah gak ada artinya lagi di mataku.
Mendingan aku mikirin ujian yang sebentar lagi bakalan ku hadapi.
“Udah dong…males gue ngomongin dia.”
Kali ini gantian Chika yang mengedikkan bahunya. Untuk mengisyaratkan bahwa kali ini ia gak berminat untuk lebih mengetahui urusanku lebih jauh lagi. Tunggu dulu, gak berminat atau gak berani?
Hmm…yang jelas Chika gak akan membahas masalah ini lagi. Minimal sampai ujian selesai. Tapi, aku yakin sebelum ujian selesaipun, Chika bakalan bertanya tentang masalah ini.
***




GAMBARKU DAN TIARA

Sudah dua hari sejak Ujian Nasional selesai. Akhirnya selesai juga…Ujian yang membuatku pusing tujuh keliling. Huh…
Dhika mendekatiku. “Din, sekarangkan udah selesai ujian. Dan waktu itu gue janji bakalan ngomong sesuatu sama loe…hmm…” Dhika kelihatan gelagapan dan salah tingkah banget!
Dhika, jangan sekarang dong ngomongin ini! Aku lagi gak pengen nih…
“Loe mau ngomong apa sih, kayaknya ribet amat.”
 Dhika menatap mataku dalam-dalam. Keringat dingin mulai mengucur dari dahinya. “Gue suka sama loe. Dan gue pengen, loe jadi cewek gue. Gimana?”
Astaga! Aku sudah menduga hal ini bakal terjadi. Dhika, aku benar-benar gak nyangka kalau kata-kata itu keluar dari mulut kamu!
Tapi, aku sudah yakin dengan apa yang harus ku jawab saat ini.
“Gue mohon, berikan sesuatu yang bisa menjadi kenangan terindah gue. Karena bulan depan setelah kelulusan…gue bakalan pergi dari Indonesia.” .
Dhika menundukkan kepalanya dalam-dalam. Membuatku gak bisa melihat mata teduh Dhika. Ah, pasti Dhika sangat sedih kalau aku mengatakan yang sejujurnya padanya. Aku jadi gak tega padanya…Gimana dong?
“Gue…”
Dhika mendongak menatapku. “Please, Din..”
Mata itu…aku gak bisa untuk menyakitinya. Tapi, aku juga gak bisa untuk membuat mata itu bahagia. Aku gak bisa!
Perasaanku gak mungkin kukorbankan. Lagi pula, aku belum berpikiran untuk menjalani hal-hal seperti para remaja umumnya. Terlebih, aku sudah berjanji pada Tiara. Tapi, aku kasihan banget sama Dhika. Gak, aku gak bakalan mengorbankan masa depanku, hanya karena aku gak tegas menolak Dhika ataupun cowok lainnya.
Oke, ini saatnya. Berusahalah untuk tegas Dini. Hanya dengan begini kamu akan tampak sangat berwibawa dan dihargai oleh cowok.
“Maaf ya, gue gak bisa.”  tolakku tegas.
Dhika mendongak menatapku. Bukan lamunan seperti ia biasa memandangku. Tatapan kegetiran…terluka…dan dapat kutangkap dari Dhika, bahwa matanya berkaca-kaca. Walaupun Dhika berusaha menutupi kesedihannya, aku sudah melihat semuanya.
“Ta..tapi…kenapa?!” katanya gak percaya.
Aku menatap Dhika lekat-lekat.
“Gue belum kepikiran untuk begituan. Sekalipun gue pengen, gue bakalan mencari orang yang benar-benar nyangkut di hati gue.”
“Bukannya loe juga suka sama gue?”
Mau gak mau seulas senyuman bertengger manis di wajahku. Mungkin senyuman ledekan kali ya. Habisnya, kepedean amat sih!
“Gue cuma menganggap loe teman, gak lebih.”
Dhika menatapku nelangsa.“Jadi, itu keputusan loe?”
Aku mengangguk.
“Ya udah deh. Gue mau bilang apa.”
Dhika menundukkan kepalanya dalam-dalam. Kemudian ia melangkah gontai ke parkiran. Sejenak, ia berbalik untuk melihatku sekali lagi.
“Siapapun orang yang berhasil dapetin loe, dia adalah orang yang beruntung!” teriak Dhika sambil melambai padaku.
Aku membalas lambaiannya. Kasihan Dhika. Dia terlalu baik untukku. Aku gak mungkin mempermainkan perasaannya. Lagi pula, perasaanku tak ada padanya. Namanya tak pernah terpatri di relung jiwaku.
Kau boleh acuhkan diriku, dan anggap ku tak ada…tapi takkan berubah perasaanku kepadamu…
Wah! Lagunya Once…
Aku menoleh untuk mengetahui asal suara merdu itu.
Oh, Tuhan! Ternyata dan ternyata!
Yang pastinya bukan Once yang berada di belakangku saat ini.
“Mario!?” Gumamku kesal.
“Hai Dini..”
“Mau ngapain loe berada di belakang gue?” tanyaku galak.
Mario beranjak ke hadapanku. “Gak ada. Buktinya sekarang gue di depan loe. Gue kebetulan aja lewat.”
“Bohong!”
“Gak kok…senenarnya, gue Cuma…dengerin loe nolak cowok. Dan gue bersyukur banget loe nolak dia.” katanya sambil senyum-senyum centil.
Uh! Sialan! Pasti Mario mendengar pembicaraanku tadi. Dasar sinting! Usil! Pengganggu! Nyebelin! Emangnya dia gak bosan apa, menguntitku terus. Aku menendang kaki Mario saking kesalnya.
“AU..” Mario mejerit pelan sambil memegangi kakinya yang mungkin sedikit perih terkena tendangan mautku.
“Trus, apa mau loe?” Tanyaku sambil berkacak pinggang.
“Gak ada kok. Gue cuma yakin aja kalau peluang gue makin besar. Karena Dhika bakalan hengkang dari Indonesia.”
“Hei! Apa maksudnya dengan peluang loe?”
“Loe bakalan ngerti, kalau udah tiba waktunya.”
“Bye…eh, tunggu dulu deh.”
Mario hampir saja pergi. Tapi gak jadi. Membuatku semakin kesal. Dan yang lebih menyebalkannya, dia sekarang sedang memperhatikan penampilanku dari ujung rambut sampai ujung kaki. Pandangannya menganalisis sesuatu yang tampaknya sangat menarik baginya.
Kemudian cowok tengil yang hobi menggangguku ini tertawa terpingkal-pingkal. Sampai-sampai ia memegangi perutnya yang mulai kram karena menertawaiku.
“Ngapain loe!”
“Ketawa.”
“Gue juga tahu loe lagi ketawa, tapi ngetawain apaan!?”
“Hmm…loe.”
“Hah? Gue? Kenapa?” Tanyaku sedikit salah tingkah.
“Pengen aja.”
“Eh, kucluk. Emang ada yang aneh ya? Jawab gak! Atau loe mau gue tendang lagi?!”Ancamku pada Mario.
“Gak! Makasih deh. Tapi, emang ada yang aneh sama loe hari ini.”
“Apa?”Tanyaku makin penasaran.
 Mario tersenyum jahil sambil mengedikkan bahu. Aku semakin kesal dengan makhluk di depanku ini. Apa sih yang ditertawakannya?
“Dasar sinting!”
“Tapi kan ganteng.”
“Ge-er!”
 “Emang kenyataannya kok.”Kata Mario enteng.
“Pergi, gak loe!”
“Hmm…gimana ya. Gue kasihan sama cewek galak tapi cantik kayak loe. Ntar kalau digangguin gimana?”
Sialan, udah nyebelin, ngatain galak lagi. Cantiknya sih oke, aku terima…he..he..tapi galak? Gak deh.
Aku mengambil inisiatif untuk pergi dari hadapan Mario saat ini juga.
“Dini!”Panggil seorang cowok. Aku sedikit terkejut saat melihat orang yang memanggil namaku barusan. Seorang cowok putih, tinggi, lumayan keren, pakai kacamata berbingkai kotak. Cowok yang penampilan luarnya kelihatan sangat serius! Aku berpikir-pikir sejenak memastikan apa dia…..
Astaga! Ngapain dia ke sekolahku. Cari penyakit aja nih anak. Udah di rumah ganggu, di sekolah juga. Maunya apaan sih? Ngajak berantem, ya udah. Aku bakalan memakai jurus seribu bayangannya Naruto! Hhyyyaaatttt!!!! He..he…Gak mungkinlah aku berkelahi di sini. Soalnya, aku kan peace of love.
Aku melirik Mario sejenak. Pandangan matanya tertuju pada cowok yang tengah berjalan dengan langkah riang ke arahku.
“Hai Din!” Sapa cowok itu sambil tersenyum.
“Ngapain loe ke sekolah gue?”
“Gak ada. Iseng aja.”
Mario saling berpandangan dengan Galang. Pandangan yang membuatku sedikit takut dan cemas. Mata mereka bertatapan seolah-olah ada sesuatu yang harus mereka selesaikan karena urusan dimasa lalu. Gak segitunya sih….(He..he..)
“Gue Galang.” Galang mengulurkan tangannya yang memiliki jemari panjang. Beberapa detik kemudian, dalam tempo yang sedikit terlambat, Mario membalas uluran tangan Galang. Lalu, cowok putih itu tersenyum.
“Gue, Mario.”
“Oh, jadi ini yang namanya Mario.” Gumam Galang. Sejenak cowok berkacamata itu tersenyum kecil sambil membetulkan letak kacamatanya. Sedetik kemudian Galang tersenyum simpul padaku.
“Senang kenal sama loe.”
“Gue juga. Ternyata loe emang keren. Bener apa yang dikatakan Doni.”
“Doni, kakaknya Dini?”
Yap!”
“Oh, gak juga. Gue biasa aja lagi. Kalau gitu gue duluan ya.” Mariopun beranjak dari tempatnya berdiri tadi menuju mobil kesayangannya.
Aku jadi bingung. Sebenarnya Mario itu orangnya gimana sih? Kalau sama aku aja, dia selalu sombong, narsis, sok keren. Nah, giliran sama orang lain…rendah hati banget! Oya, aku tahu. Pasti supaya dia dibilang ramah. Uh! Songong loe!
Setelah Mario menghilang dari pandanganku, aku segera menarik Galang ke kantin sekolah. Aku ingin makhluk pengganggu satu ini menjelaskan tujuannya mendatangiku ke sekolah.
“Sekarang loe harus jelasin maksud loe ke sini.”
Galang meraih sebotol fanta di meja, kemudian meminum setengahnya dengan segera.
Aaakk! Galang mengeluarkan keahliannya yang amat jorok. Ih…jijay! Dasar makhluk jorok!
Aku melirik ke arah Galang. Bukannya minta maaf atau gimana gitu…eh dia malah senyum-senyum tanpa dosa gitu. Busyet!!!!
“Lega deh gue.”
“Dasar jorok loe!”
“Biarin.”
Galang mengedarkan pandangannya keseantero sisi kantin. Matanya kemudian berhenti disatu titik, aku.
“Loe mau ngapain sih ke sini?”tanyaku padanya.
Kan tadi gue udah bilang, gue lagi iseng aja. Gimana sih loe, cakep-cakep tulalit banget.”
Aku menarik nafas dalam-dalam. Sabar…orang sabar disayang Tuhan. Mulai hari ini aku gak boleh lagi galakin orang. Aku janji…tapi…
Kecuali Mario! Ya, gak ada ampun untuk Mario.
“Iseng gimana?”Tanyaku ramah. Ya, setidaknya aku sudah berusaha untuk baik sama orang yang sebenarnya sangat menyebalkan ini.
“Kebetulan gue udah selesai kuliah, trus lewat sekolah loe. Ya, udah.”
Aku berpikir sejenak. Lewat sekolahku? Kata bunda, Mario satu kampus sama Dodon. Letak kampus Dodon kan jauh banget dari sini. Aneh banget nih orang.
“Kampus loe kan jauh dari sini.”
“Siapa bilang?”
“Gue. Emang loe gak denger ya?”
“Maksud gue, dari mana loe tahu?”
“Emangnya gak boleh kalau gue tahu? Bukannya loe udah dianggap jadi bagian keluarga gue. Ya wajarlah kalau gue ingin tahu.”
Aku sengaja menekankan suaraku pada kata ‘keluarga gue’. Ya…mudah-mudahan dia mengerti, kalau aku sedang menyindir dia.
Tapi sepertinya dia gak merasa disindir deh. Buktinya, dia malah cengengesan gak jelas gitu menanggapi ucapanku. Uh! Sebel!
“Boleh sih, tapi…gue heran aja. Biasanyakan loe jutek banget sama gue. Tapi sekarang, kok tiba-tiba aja perhatian.”
Gile aje. Aku Cuma ngomong gitu aja dibilang perhatian. Apalagi kalau aku nanya-nanya tentang dirinya, wah bisa-bisa aku disangka naksir lagi sama dia. Emang kepedean amat! Ck..ck..ck..
Setelah aku pikir-pikir, sikap dan cara ngomong Galang gak jauh beda dari Mario. Benar-benar mirip!
“Kepedean amat sih loe.”
“Gak kok. Biasa aja lagi.”
“Aduh, gue ada janji nih ama temen gue. Jadi, gue harus cabut sekarang. Mending loe pulang aja deh. Gimana?”
“Gue males di rumah. Gimana kalau gue ikut loe aja?”
“Gak!”
“Kenapa?”
“Ya gak pa-pa. Pokoknya gak boleh!”
Up to you deh.” Kata Galang akhirnya.
Setelah yakin Galang gak akan bersikukuh untuk ikut denganku, aku segera meninggalkan kantin. Sebenarnya aku gak akan kemana-mana. Tapi, malas aja kalau mesti nemenin cowok sejenis Galang.
***
Sore ini aku berada di taman dekat komplek. Sebenarnya,bukan kebiasaanku untuk menghabiskan sore duduk di taman. Biasanya, sore cerah seperti saat ini kuhabiskan di rumah, membaca buku. Namun sore ini tampaknya agak berbeda dari hari sebelumnya. Semenjak ada Galang di rumah, aku merasa ruang gerakku di rumah semakin sempit dan terbatas. Dan itu membuatku gerah. Sehingga akupun mencari tempat dimana aku bisa menyendiri, sunyi…seperti saat ini.
Minggu depan Dhika akan melanjutkan sekolahnya ke London. Dia akan pergi. Ah, cowok di sudut kelas yang sangat senang melamun! Cowok yang pernah kukagumi karena kepintarannya, ketampanannya dan kebaikannya. Oh ya, satu lagi. Karena sifatnya yang sangat pemalu padaku. Ya, yang satu ini aku gak bakalan pernah lupa.
Sudahlah! Semakin aku mengingat Dhika, semakin aku sulit untuk menolaknya. Bukan apa-apa, melihatnya sedih membuat sifatku yang gak tegaan menjadi menggebu-gebu. Ah! Ayo Andini, jangan membicarakan dan mengingat Dhika lagi!
“Hei!” Sebuah sapaan membuyarkan lamunanku tentang Dhika. Aku mendongak untuk melihat sosok yang baru saja menyapaku.
“Ngapain loe ke sini?”
“Iseng aja.”
Aku melengos malas mendengar jawabannya yang membuatku muak.
“Loe makin manis aja.”
Aku meliriknya yang kemudian duduk di bangku sebelahku. Aku gak berminat untuk menanggapi kata-katanya yang membuatku merasa ingin muntah.
Aku mengeluarkan buku merah kesayanganku dari tas kecil yang kubawa dari rumah tadi. Kemudian mengambil salah satu dari bolpoin warna-warni yang selalu tersedia di kotak pensilku. Kali ini warna biru, sama dengan kaos yang kukenakan.

Aku duduk di taman, sendiri
Berharap kan datang pujaan hati
Burung bernyanyi
Membuatku semakin rindu akan dirinya

Ia sosok khayalan
Yang tak pernah nyata
Namun aku berharap ia kan hadir didunia nyataku
Namun inginku terlalu tinggi
Karena sosok pujaan itu tak kan pernah datang…
Sampai kapanpun…

Aku membaca ulang tulisanku. Kemudian melirik cowok tengil yang masih duduk di sampingku. Ah! Ia malah tersenyum ke arahku.
Aku menunduk geram sambil memasukkan buku dan bolpoinku ke dalam tas. Kemudian aku berdiri dari tempatku duduk tadi. Rasanya sudah dulu acara menyendirinya. Lagi pula perutku udah demo minta diisi.
“Eh tunggu dulu!”
Aku berhenti dan membalikkan badan.
“Din, gue mau ngomong sama loe.”
Aku hanya diam tak bergeming.
“Kapan loe mau maafin gue?”
Aku mengedikkan bahu. Lalu, kembali menyusuri jalan-jalan di taman.
“Din…”
Aku menghentikan langkahku. Melirik kesal ke arahnya.
“Apaan?!”Tanyaku galak.
“Din, mungkin hari ini terakhir kita bertemu.”
“Trus, apa urusan gue?!”
Mario menghela nafas panjang.
“Tolong, gue gak akan tenang kalau loe belum maafin gue.”
“Peduli amat!”
“Din…”
Mario menatapku tajam. Di mata itu pernah ada rasa untukku. Mata itu pernah membuat detak-detak aneh di dalam hatiku. Mata itu…tersimpan kejujuran. Mata itu, membuatku selalu nyaman berada di samping pemiliknya. Tapi, mata itu pula yang telah merenggut sahabat masa kecilku!
“Ini.” Mario memberikan selembar kertas putih padaku. Karena kasihan, ya udah aku terima aja. Kertas itu langsung kuselipkan diantara buku-buku di dalam tasku.
 “Loe lihat aja ntar. Kalau loe udah maafin gue, temui gue besok sebelum gue berangkat ke New York. Jam 2 siang.”
New York? Besok? Secepat itukah…Tapi, besokkan hari kelulusan. Besok pembagian ijazah dan NEM. Masa’ dia mau pergi sih!
Astaga! Kenapa jadi aku yang pusing mikirin kepindahannya! Grrrr….jangan-jangan aku…ah! Gak, gak mungkin! Lupain aja! Gak!!!
“Besok kelulusan. Gue gak ada waktu.”
“Itu hak loe. Tapi, gue bakalan nunggu loe. Karena loe adalah sahabat gue. Sahabat yang gak bakalan bisa gue lupain!”
“Sahabat? Itu dulu! Mana ada sahabat yang tega menyakiti sahabatnya  sendiri. Mana ada sahabat yang tega merobekkan satu-satunya peninggalan sahabatnya?! Hah!”
Aku mendorong bahu Mario hingga tubuhnya nyaris terjatuh.
“Din…gue gak tahu. Din, loe boleh dorong gue, nampar gue, maki-maki gue. Tapi gue mohon…maafin gue.”
“Loe pikir semudah itu?!”
Mario menarik nafas berat. Kemudian ia melangkah mendahuluiku. Sebenarnya aku yang terlalu jahat, atau dia sih yang selalu membuatku kesal?!
Idih, ngapain mikirin cowok kayak dia! Amit-amit tujuh turunan deh….
“Mending gue pulang.”Gumamku akhirnya.
***
  Yes..yes..!!! Hari ini aku senang banget. Pokoknya benar-benar senang deh. Akhirnya aku berikut empat ratus-an siswa-siswi sekolahku berhasil lulus. Lulusnya seratus persen lho…
“Hei Din! Selamat ya…”
“Makasih. Loe juga.”
“Eh, ada yang mau ngomong nih sama loe.”
“Siapa?”Tanyaku pada Putra.
“Gue.”
Dhika???!! Ternyata Dhika yang mau bicara denganku. Tapi, masalah apa lagi ya? Bukannya waktu itu kami sudah membicarakan semuanya dengan sejelas-jelasnya?
“Gue cuma pengen bilang selamat aja sama loe.”
“Oh, makasih. Gue juga mau ucapin selamat buat loe.”
“Gue tahu…loe gak suka sama gue. Tapi, jangan halangin gue untuk terus suka sama loe. Keberangkatan gue dipercepat, Din. Besok gue udah harus pindah ke London.”
Hah? Secepat itukah?
“Kalau gue boleh tahu, kenapa loe gak tinggal di Indonesia aja?”
“Gue..”Dhika menghela nafas dalam-dalam.
“Ya udah, loe gak perlu cerita kok.”
“Bukan gitu. Tapi,…”Dhika melihat ke arah Farel, Chika dan Putra. Kemudian, ketiga makhluk itu meninggalkan kami.
“Loe mau gak dengerin cerita gue?”
Aku mengangguk.
“Gue anak bungsu dari tiga bersaudara. Kakak-kakak gue semuanya menjadi dokter dan tinggal di London.”
“Trus?”
“Mulanya, papa masih bisa biayain sekolah gue, kedua kakak gue. Tapi…”
“Emang mama loe kemana?”
“Mama gue udah lama tiada.”
“Ups, sorry ya. Gue gak tahu.”
“Gak pa-pa kok.”Dhika menarik nafas panjang.
“Lalu?”
“Bisnis papa gue yang semula lancar dan menguntungkan tiba-tiba aja gak berjalan dengan baik. Akhirnya papa dan gue diajak kak Ari untuk ikut dia.”
“Kak Ari?”
“Ya, dia kakak gue yang nomor dua.”
“Kakak loe yang satunya?”
“Kak Aji udah punya istri. Gue segan aja kalau harus tinggal bareng dia.”
Aku manggut-manggut mengerti.
“Jadi, itu alasan loe pindah ke London? Apa itu selamanya?”
Dhika menatap heran dengan pertanyaanku barusan.
“Gak, paling juga sampai gue lulus. Ntar, gue balik lagi ke Indonesia, ngurus perusahaan dan bisnis papa.”
“Pas loe ke London, siapa yang akan ngurus perusahaan papa loe?”
“Oh, itu. Om gue, papanya Kevin.”
Aku mengangguk mengerti.
“Ntar kalau loe udah tiba di sana sering-sering hubungin gue ya…”
“Pasti dong.”
“Gue boleh minta tulisan loe gak? Buat kenang-kenangan aja.”
“Boleh.”
Aku segera mengeluarkan buku merah kesayanganku, dan tentunya juga bolpoin warna-warniku.
“Nih.”
Dhika membuka lembar demi lembar halaman bukuku. Kemudian dia mulai menulis disalah satu lembaran yang kosong.
“Ini apaan?”
Di tangan Dhika telah bertengger sebuah kertas yang ku yakini sebagai kertas yang diberikan Mario kemaren, di taman.
Dhika membuka lipatannya. Namun betapa terkejutnya dia saat…
“Coba gue lihat.”
Aku mengamati tiap goresan pensil yang terukir di atas kertas yang kini berada tepat di tangan kananku.
Astaga! Itukan aku. Tapi mana mungkin! Gambar ini seperti gambar yang diberikan Tiara waktu itu! Gambar yang  sangat indah. Di sana ada aku dan Tiara. Tapi, gambar inikan udah gak ada. Mana mungkin? Aku berpikir keras.
Ah….Kepalaku pusing. Tiba-tiba saja bayangan masa lalu melintas di benakku. Bayangan Tiara…Mario…aku…gambar itu! Semua kejadian masa lalu bercampur menjadi satu. Akh…!!
“Dhika..gue…kepala gue sakit banget nih. Loe pegang aja buku gue. Besok loe pergi jam berapa?”Kataku seraya menahan sakit kepalaku.
“Sore, jam empat. Gue anterin loe ya.”
“Gak usah…gue..akh..gue.”
“Gak pa-pa.”
“Gak, makasih. Gue..gue..akh..!”
“Dini..Dini..bangun..”
Semua gelap! Aku gak tau lagi….aku…yang aku ingat Dhika memanggilku…dan…
***


















FLASHBACK : KENANGAN TERAKHIR

Gadis manis itu mendekatiku sambil berlari-lari kecil. Dari tatapannya dapat kuketahui kalau hatinya sangat bahagia.
“Seneng banget. Ada apaan?”
“Hmm…tau gak. Gue menang lomba lukis lagi!”
“Hah? Wah…selamat ya.”
Aku segera memeluk sahabatku satu ini. Sahabatku sejak kecil. Sahabat yang sangat ku sayang. Sahabat yang selalu ada untukku. Dia sangat berarti bagiku…
“Dari dulu loe selalu menang!”Pujiku tulus.
“Siapa dulu dong sahabatnya…Andini..”
Tawa kami memecahkan pagi sunyi di koridor sekolah. Beberapa siswa yang sudah datang memandang kami sambil tersenyum-senyum penuh arti. Ah, bodo amat!
 “Eh, Mario udah tahu belum?”
“Belum, gue pengen kasih kejutan sama bocah gendeng satu itu.”
“Tiara..Tiara..udah deh mending loe jadian aja sama dia.”Ledekku pada cewek di depanku ini.
“Gak ah! Gue belum mau gitu-gituan. Loe harus janji ya, sebelum sekolah loe selesai, loe gak boleh gitu-gituan.”
“Gitu-gitu apan?”Tanyaku pura-pura gak ngerti.
“Ya, gitu…jadian..”
Aku mengangkat kelingking kananku. Dan Tiara melakukan hal yang sama. Kami saling mengaitkan jari.
“Gue janji.”Kataku semangat.
“Loe emang sahabat gue!”Tiara memelukku dengan erat. Pelukan yang membuatku tiba-tiba merasa ketakutan…takut kehilangan Tiara. Tanpa ku sadari air mataku mulai menetes.
“Loe kenapa?”Tanya Tiara sambil mengusap hangat kepalaku.
“Jangan tinggalin gue ya.”Gumamku pelan.
Tiara tertawa terbahak-bahak.
“Kenapa loe ketawa?”
“Gak, lucu aja. Gue kan gak kemana mana. Ngapain juga, loe ngomong aneh kayak gitu. Kalau gue mati, baru loe boleh ngomong gitu!”
“Tiara! Jangan ngomong gitu. Gak baik! Ntar kalau kejadian gimana?”
“Ya gak gimana-gimana sih…”
“Pokoknya loe gak boleh ninggalin gue, titik.”
“Iya deh…gue janji.”
“Oh iya, mana pialanya?”
“Di rumah. Tapi, gue punya sesuatu buat loe.”
Tiara mengeluarkan secarik kertas dari saku roknya.
“Ini, buat loe.”
Aku mengamati gambar yang ada di kertas itu dengan teliti dan seksama. Tiba-tiba saja aku menjadi merinding. Gambar itu terlalu nyata. Imajinasi yang kuat yang mewarnai tiap goresannya.
Sebuah gambar…dua orang gadis yang tengah tertawa di taman bunga yang sangat indah. Gadis itu adalah…aku dan Tiara. Astaga! Mirip banget! Bahkan mungkin lebih bagus yang digambar daripada aslinya.
“Bagus gak?” Ujar Tiara sangsi.
Aku mengangguk cepat seraya tersenyum tulus pada gadis di hadapanku.
“Tapi kayaknya muka gue gak secantik ini deh.”
“Gue ngelihatnya gitu.” Kata Tiara sembari memegang erat pundakku untuk meyakinkan aku.
“Beneran ini buat gue?” Tanyaku gak percaya.
Tiara mengangguk mantap.
“Sebagai kenang-kenangan dari gue.”
Thanks ya.”
“Tapi ingat, jangan sampai gambar itu kenapa-kenapa. Karena gue membuatnya benar-benar dari hati. Buatnya aja butuh waktu dua tahun.”
“Hah? Selama itukah?”
“Iya, soalnya gue membuatnya, rambutnya tahun kemaren trus badannya tahun sekarang.”
“Huh! Dasar rese loe.”
“Eh, loe udah makan belum. Gue laper nih.”
“Aduh, gue udah sarapan nih.”
“Temenin gue yuk, ke kantin.”
Kantin? Tapi di sana tadi ada Mario. Aku gak bisa kalau melihat Mario bercanda bersama Tiara. Aku takut, Tiara tahu kalau aku mengagumi Mario, sama seperti dia.
“Sorry, gue mau ke ruang jurnalistik dulu. Ada perlu sama Indra.”Alasanku cukup logiskan? Minimal supaya Tiara merasa aku gak punya hati buat Mario.
“Cie..Indra…udah kangen ya..suit..suit..”
 “Apaan sih.”
“Ya udah, gue duluan ya.”
Tiara berlalu menuruni tangga menuju kantin. Dan aku langsung ngacir ke ruang jurnalistik. Karena tiba-tiba saja aku mendapat ide baru untuk mempromosikan Tiara pada Indra.
Indra. Kueja nama itu. Dia kakak kelasku. Anaknya asyik, ramah, baik lagi dan dia adalah salah satu cowok populer di sekolahku. Mau tahu apa hubungannya Indra denganku?
Gini, sejak beberapa bulan yang lalu, terdengar kabar kalau Indra naksir aku. Sebenarnya itu cuma gosip semata. Indra itu ketua jurnalistik dan kapten basket. Kebetulan, aku ini anggota jurnalistik. Karena kami sering ketemu, otomatis kami jadi akrab. Cuma itu doang, gak lebih. Tapi, namanya juga gosip…ya…beginilah akhirnya. Aku dan Indra sih bawa enjoy aja gosip ini. Soalnya, selain terkenal Indra juga keren banget. Ya, ambil hikmahnya aja. He..he..
“Ndra!” Seruku semangat.
Indra menoleh ke arahku lalu memamerkan sebuah senyumannya yang ramah.
“Eh loe Din, masuk aja.”
Aku masuk ke ruang jurnalistik, kemudian duduk di kursi sebelah Indra.
Ada apa Din?”
“Gini lho. Gue punya ide, gimana kalau profil majalah kita bulan ini Tiara.”
Indra berpikir sejenak.
“Tiara yang mana?”
“Itu lho, yang sering ikitan lomba melukis….”
Ia mengingat-ingat gadis yang kumaksud.
“Oh…Tiara yang itu. Yang rambutnya panjang, trus kulitnya putih. Yang wajahnya blasteran itukan?!”
“Ya. Gimana? Loe setuju kan?”
“Setuju-setuju aja.”
Nah, terbuktikan. Indra itu baik banget. Buktinya aja dia langsung setuju dengan ideku. Apa sih kurangnya Indra? Maka dari itu, karena Indra lumayan perfect untuk digebet, teman-teman jadi menggosipkan aku.
“Oh ya…”Aku memberikan kertas lukisan Tiara tadi ke Indra. Cowok yang hobi banget main basket ini mengamati lekat-lekat gambar yang ada pada kertas itu.
“Bagus kan?” Kataku berusaha meyakinkannya.
“Ini…hmm…loe kan?” Indra melirikku kemudian kembali mengamati kertas itu. Mungkin dia sedang membandingkan wajahku dengan wajah yang ada di gambar itu.
“Itu Tiara yang buat lho.”
“Wah, bagus banget. Seperti gak ada pembeda antara imajinasi dengan yang aslinya!! Sumpah! Bagus banget, gila!”
“Ya iyalah, Tiara itu jago banget melukis. Apalagi cuma menggambar doang.”
“Loe kayaknya deket banget deh sama dia.”
“Ya, gitu deh. Sejak kecil gue udah bersahabat dengan dia.”
“Menurut loe arti sahabat itu apaan?”
“Saling menjaga dan memahami perasaan masing-masing. Seperti soulmate gitu deh.”
“Gitu ya. Kalau gitu, gue pengen langsung ketemu orangnya nih. Kertasnya gue pegang dulu ya. Belum puas lihatin gambarnya! He..he..”
“Ya udah, yuk.”
Aku dan Indra berjalan beriringan menuju kantin. Sepanjang jalan, aku dan Indra saling bersenda gurau. Ada-ada saja yang kami bicarakan. Indralah yang baru aja kena marah Pak Guru, karena lupa pakai sepatu hitam ke sekolah, sampai-sampai pulang sekolah nanti dia harus rela berjemur di lapangan parkir yang sangat…panas. Karena keasyikan ngobrol, aku gak sadar kalau sedari tadi ada sepasang mata yang memperhatikanku.
“Nah, itu Tiara. Ngapain dia duduk di tangga gitu?” Kataku sedikit bingung.
“Lagi cari inspirasi kali.”
“Ada-ada aja loe.”
“Hei!” Aku memukul pelan bahu Tiara dari belakang. Dan gadis itu terkejut, terbukti bahunya sedikit naik.
“Ah! Sialan loe. Untung aja penyakit gue gak kumat!”
“Sorry. Gue lupa.” Aduh, aku baru sadar! Maaf ya Tiara. Aku benar-benar lupa nih. Maaf ya, sobatku….
“Huh…”
Aku dan Indra duduk di sebelah Tiara.
“Eh, ada Indra…” Gadis usil ini melirik genit ke arahku sambil tak lupa mencolek-colek pinggangku.
“Apaan sih loe!”
“Gimana kabar Indra? Oya Ndra, Dini nakal gak kalau jalan sama loe.”
Indra tersenyum cuek namun pipi putihnya merona merah. Membuktikan bahwa ia sangat malu dan salah tingkah.
“Gu..gue..biasa aja kok sama dia. Gue gak ada apa-apa sama Dini.”
“Udah ah! Ngapain sih bahas ginian. Oya, bulan ini loe bakalan jadi profil majalah sekolah kita, lho Tiara. Gimana? Loe mau kan mejeng di majalah sekolah? Please…”
“Aduh, gimana ya…tapi demi sobat gue yang tersayang ini apa sih yang gak. Tapi, loe serius kan?”
“Iya. Tanya aja sama Indra, ya kan Ndra?” Aku melirik Indra sejenak untuk minta bantuan padanya. Namun cowok itu tampaknya masih memikirkan ucapan Tiara tadi. Buktinya, ia malah melongo saat aku bicara padanya.
“Ndra! Woi! Ngelamun ya?!”
“Gak…gak kok..gue gak sedih.”
“Sedih? Siapa yang ngomong sedih? Dini Cuma bilang loe ngelamun. Oh…gue tahu. Loe emang benar-benar suka ya sama Dini.”
“Huss! Tiara, jangan mulai deh!” Aku menatap tajam pada Tiara.
“Ups, maaf.”
“Tadi gue nanya, kita seriuskan ngajak Tiara untuk profil majalah sekolah bulan ini. Gitu!”
“Oh, gitu…Iya, bener apa yang di katakan Dini.”
“Ya udah deh, gue mau.” Tiara cekikikan penuh makna. Dan aku tahu betul apa maknanya. Uh! Dasar Tiara!!!
“Nah, gitu dong. Oh ya, gue ke kelas dulu ya. Nih kertasnya.” Indra berlalu dari hadapanku dan Tiara sambil sekali lagi menampilkan senyumannya yang ramah dan menyejukkan pada kami.
“Makasih ya Ndra!!!”Teriakku kencang.
Indra menoleh padaku, kemudian dia mengangguk sambil mwngacungkan kedua ibu jarinya.
Mataku tertuju pada cowok di ujung sana. Pandangan cowok itu aneh padaku. Sedari tadi ia terus saja memperhatikan gerak-gerikku tanpa ingin berpaling sedikitpun! Yang lebih anehnya lagi, gak ada senyum yang menghiasi wajahnya. Apalagi tawa renyahnya yang lucu, yang dapat membuatku ikut tertawa karenanya. Ada apa ya dengan Mario? Batinku bertanya-tanya risau dalam hati.
Mario mendekatiku dan Tiara. Dengan sigap, tangannya merebut paksa kertas yang dari tadi berada di tanganku. Ia mengamati gambar yang tercipata di atas kertas itu dengan teliti.
“Bagus.” Ia tersenyum sinis penuh kebencian.
“Pasti dong. Siapa dulu yang membuatnya.” Seruku bangga pada Mario.
“Tapi, akan lebih baik kalau kertas ini…”
Mar, jangan berbuat yang aneh-aneh! Kamu mau ap……
Belum sempat aku mereka-reka apa yang akan diperbuat Mario, ia telah merobekkan kertas itu sampai tak tersisa sama sekali. Yang bodohnya, aku hanya bisa melongo melihat peristiwa yang baru saja terjadi di depan mataku.
“….hilang dari pandangan loe!” Sambungnya kemudian.
“Mario! Apa yang loe lakuin!” Teriakku marah.
“Merobekkan kertas sialan ini, emang kenapa?” Jawabnya enteng.
Mukaku mulai memanas. Mataku berkaca-kaca menahan kepedihan yang tertahan di ulu hatiku. Cowok ini, aku pikir dia cowok yang baik. Aku pikir dia sahabatku. Tapi ternyata, dia sama sekali bukan sahabatku!
 Aku melirik Tiara. Dan betapa terkejutnya aku melihat Tiara yang pucat pasi. Gak ada senyuman lembut Tiara. Gak ada guyonan jahil yang keluar dari bibir mungilnya. Hilang sudah kebahagiaan Tiara yang beberapa waktu lalu masih melekat erat di wajah manisnya.
Tiara memegangi dadanya. Tangisnya pecah.
“Tiara…”
“Din…gue…”Tiara berjalan mundur. Aku takut, Tiara terjatuh. Aku benar-benar takut! Ia terus melangkah kebelakang tanpa ingin menggubris panggilanku.
Nafas Tiara tersengal-sengal. Aku semakin takut bila penyakit jantungnya kumat. Aku sangat-sangat takut Tiara akan pergi. Aku gak mau kehilangan Tiara. Aku belum siap…
“Tiara!” Air mata mulai mengalir membasahi pipiku.
“Aaaaaaaa……!!!!”
Aku diam tak bergeming menatap takjub tragedi ini. Melongo tak percaya bahwa ini bukan sekedar ilusi. Ini nyata!
Tiara tergelincir jatuh. Kepalanya bersimbah darah.
“TIARA..!!!” Teriakku membahana nyaris merontokkan atap gedung sekolah kecintaanku ini.
Dengan segera aku menuruni tangga, menghampiri Tiara yang berguling-guling jatuh ke anak tangga paling bawah.
“Tia..ra..bangun…”
“Din…” Panggilnya lemah. Tiara berusaha untuk tersenyum seperti biasa. Namun senyum itu begitu pahit kurasakan. Pedih…
Aku memeluk Tiara dengan erat. Pelukan ini begitu hangat dan menentramkan. “Din…gue sayang loe…”
“Tiara…hiks..hiks..”
Tiara diam tak bergeming.
“Tiara…” Panggilku lagi. Aku mengguncang-guncang tubuh gadis ini.
“Tiara!!!”
Semua siswa menghampiri kami. Sebagian besar mereka langsung menggotong Tiara.
“Tolong, bawa Tiara ke Rumah Sakit!!!”Teriakku panik.
“Ayo cepat…”
“Panggil Ambulans!!!”
Air mata semakin deras membasahi pipiku. Isakan tangis masih menyelimutiku. Namun aku berusaha untuk tetap tegar. Dengan garang aku menghampiri Mario. Namun cowok itu hanya melirikku sejenak, lalu mebuang muka ke arah lain.
Lihatlah! Katanya, dia adalah sahabatku dan Tiara. Tapi, apa yang dilakukannya pada saat terakhir kehidupan Tiara? Membantu membawa Tiara ke Rumah Sakitpun tidak. Jadi sebenarnya apa maksud Mario melakukan ini semua? Apa?!!
“Puas loe!” Kataku berapi-api sambil meninju perutnya.
“Auw..” Mario meringis kesakitan seraya memegangi perutnya yang terkena bogemanku tadi. Tapi, peduli amat. Mario pantas mendapatkannya!
“Gue…”
“Tutup mulut loe! Gue gak butuh penjelasan dari orang jahat seperti loe! Asal loe tahu ya, yang membuat gambar itu Tiara. Dan loe udah berani merobekkan kertas yang berisi gambar, yang dengan susah payah dibuatnya. Tega loe ya! Sahabat macam apa sih loe!”
“Gue…gue…”
“Gue apaan?!”
“Gue gak tahu. Gue kira itu dari Indra.”
“Kalaupun gambar itu dari Indra, apa maksud loe merobekkan kertas itu. Hah? Dasar banci! Gue benci sama loe! Gue benci!”
Aku berlari meninggalkan Mario yang hanya diam tetunduk bisu mendengar amarahku.

***






















SORRY…

“Akh….Tiara!!!”Aku terbangun dari mimpi burukku.
Nafasku memburu. Aku melihat sekelilingku. Hah! Dimana aku…
“Loe gak pa-pakan Din?”
“Chika? Gue ada dimana?”
“Di UKS. Tadi Dhika yang bawa loe ke sini. Loe tadi pingsan.”
Pingsan? Aku mulai mengingat-ingat peristiwa tadi.
Dhika sedang ngobrol denganku. Aku memintanya untuk menulis sesuatu di buku merah milikku. Kemudian…ada kertas…lalu…
“Kertas itu!”
“Kertas apa Din?”
“Dhika mana?”
“Gue di sini. Oh ya, ini kertas sama buku loe. Udah ada kok, tulisan gue.”
“Makasih ya.”Kataku pada Dhika.
Chika merebut kertas yang diberi Dhika barusan.
“Ini..inikan..loe..”Chiuka nyaris berteriak kalau saja aku gak menutup mulutnya.
“Iya, itu gue dan…Tiara.”
“Tiara cantik banget ya”Gumam Chika perlahan.
“Tapi, sayang. Dia udah pergi.”
Mukaku terasa panas. Gerah.
“Din, gue tahu siapa yang buat ini. Mariokan?”
“Darimana loe tahu?”Tanyaku pada Chika.
“Setahun belakangan ini, gue sering melihat Mario masuk ke tempat kursus melukis gitu. Kebetulan, tempatnya bersebelahan sama rumah gue. Hampir tiap hari Mario ke sana. Gue gak nyangka, ternyata dia cuma mau bikin gambar ini doang. Ck..ck..ck..”
Aku terdiam. Sedikit terkesiap mendengar penuturan Chika. Apa iya Mario segitunya?
“Kita ke sana yuk, sekarang.”
“Ya udah, yuk.”

***

Pukul 12.20…

Saat ini, kami berlima sudah berada di tempat kursus Mario. Guru melukis Mario namanya Pak Ben. Wajahnya tidak menyeramkan. Penampilannya bersahaja. Tidak seperti pelukis kebanyakan.
“Ya, Mario itu anak murid saya.”
“Sejak kapan Pak?”
“Hmm…kira-kira satu tahunan.”
Aku manggut-manggut.
“Tujuannya Mario apa sih Pak?”
“Katanya, dia ingin menebus kesalahannya dimasa lalu. Seorang gadis, yang amat membencinya. Namun gadis itu adalah orang yang sangat disayanginya. Sebenarnya Mario memiliki bakat untuk melukis, hanya saja, dia kurang percaya diri. Hampir tiap hari Mario datang. Dia menceritakan semuanya pada saya. Terakhir dia datang, kemaren. Dia memperlihatkan hasil gambarnya pada saya.”
“Apa itu gambar dua orang cewek?”Tanya Chika penasaran.
“Ya, dan salah satu dari gadis itu…mirip sama..dia!”Pak Ben menunjuk ke arahku.
“Mario berharap gadis yang bernama Andini itu bisa memaafkannya.”
“Trus, loe mau gak maafin Mario?”
“Gak tahu.”
“Oh ya, nanti, jam dua Mario akan berangkat ke New York.”
“Apa???”Chika terkejut mendengarnya.
Putra melirik jam dinding yang ada di ruangan ini.
“Jam dua belas lewat lima puluh menit.”
“Kita ke bandara yuk.”Ajak Dhika.
“Kalian aja. Gue gak.”Gumamku lirih.
“Hei! Apa sih mau loe! Mario udah memberikan apa yang loe minta. Sekarang, saat dia mau pergi, loe masih gak mau juga maafin dia? Loe benar-benar keterlaluan!”
“Chika, itu urusan gue!”
“Gue gak suka punya teman kayak loe!”
“Terserah!”
“Udah! Kok pada ribut gini!”Lerai Putra kesal.
Aku diam menahan perih.
Dzzz….dzz….
Handphoneku bergetar, ada yang nelpon. Tapi, nomor siapa ya?
“Hallo?”Sapaku ragu-ragu.
“Hallo..ini Dini ya.”Suara itu, suara wanita yang kira-kira sebaya dengan bunda. Suaranya bergetar menahan tangis yang mungkin sebentar lagi akan pecah menyelimutinya. Rasanya, aku pernah mendengar suara ini. Suara keibuan yang sudah gak asing lagi ditelingaku. Tapi, suara siapa ya?
“Iya, ini siapa?”
“Tante Ana, mamanya Mario.”
Ya! Aku ingat. Ini suara mamanya Mario. Dulu, tiap aku bermain bersama ke rumah Mario, mama Mario selalu menemani kami. Ya, dulu aku memanggilnya bunda Ana.
“Ini tante Ana?”
“Iya.”
“Ada apa tante?”
“Mario..Mario..masuk Rumah Sakit. Tadi dia ke sekolah, mau pamitan sama kamu. Tapi, dia kecelakaan. Tante..tante…”Wanita itu sudah tidak sanggup lagi menahan tangisnya.
“Rumah Sakit mana tante?”
“Rumah Sakit Harapan. Tolong ke sini ya, sayang.”
“Iya tante.”
Klik. Sambungan diputus.
Aku menarik nafas panjang. Perasaanku jadi tak menentu. Semua berbaur menjadi satu.
Mario sahabatku. Aku rindu dia. Aku ingin bertemu dia, memaafkannya.
“Siapa Din?”
“Mamanya Mario. Ma..Mario kecelakaan.”Kataku lirih.
“Apa??!!!”Chika menangis. Kenapa dia menangis? Begitu sedihnyakah dia mendengar peristiwa ini.
“Gara-gara loe!! Denger ya Din, kalau terjadi apa-apa sama Mario, gue gak bakalan mau maafin loe!”
Hatiku semakin sakit dan sedih mendengar ancaman Chika. Tiara…kenapa semua ini terjadi!!!! Kenapa???

***






















FOREVER…

Satu minggu kemudian…

Jantungku berdegup kencang. Nafasku tersengal-sengal seperti habis ikut kejuaraan lari. Pandangan mataku kosong. Air mata membasahi pipiku.
“Puas loe!” Bentak Chika kasar dalam isak dan tangisnya.
Dulu, aku yang bicara seperti itu pada Mario. Tapi kini, memang bukan Mario sih. Tapi, hanya seorang gadis manis. Bukan hanya seorang gadis biasa. Tapi dia juga bukan wanita yang kuat. Dia sahabatku. Tapi dia malah menyudutkanku. Memakiku. Memarahiku. Dan nyaris membuatku ingin menghilang dari muka bumi.
“Chika..”Panggilku lirih.
“Loe gak usah bicara lagi sama gue!”
Aku melangkah mundur.
Aku berlari…berlari sejauh mungkin. Meninggalkan kemarahan Chika.
Aku duduk di salah satu kursi di taman Rumah Sakit. Memandang kerlip bintang.
Aku menyeka air mata yang membasahi wajahku.
“Kenapa semua jadi seperti ini?”
“Dini…”Sapa seorang cowok.
“Kak Doni!!!”Aku berteriak histeris dan memeluk kakakku dengan erat. Aku butuh seseorang untukku berbagi cerita. Aku butuh seseorang yang mau mendengarkanku. Dan kak Donilah orangnya.
Kak Doni membelai rambutku dengan penuh kasih sayang. Membuatku sedikit tenang dan melupakan kemarahan Chika tadi.
“Din…”Galang duduk di samping kiriku.
Aku menatap calon kakakku itu dengan pandangan menghiba.
“Sabar ya, Din.”
“Galang…maafin gue. Selama ini gue jutek sama loe.”
“Iya, gue ngerti kok.”
Dari kejauhan terlihat Putra berlari-lari menghampiri kami.
“Mario udah sadar!”
“Apa?”
Dengan segera aku, Dodon dan Galang berlari ke ruang ICU. Sejuta harapan menari-nari di dalam kepalaku. Aku berharap, Mario baik-baik saja…ya, hanya itu harapanku saat ini.
“Loe gak boleh di sini!”Tiba-tiba saja Chika mendorongku hingga nyaris terjatuh.
“Loe apa-apaan sih!”Seru Putra marah.
“Gue gak suka kalau ada dia di sini!”
“Diem loe! Loe gak denger apa, tadi Mario pengen ketemu Dini?!”
Suasana menegang. Membuatku merasa sangat bersalah.
“Din…”Panggil Mario pelan.
Aku melirik Mario yang dengan perlahan tapi pasti mulai membuka matanya.
Aku berdiri di sisi kanan tempat tidur Mario.
“Mario…”
“Din…gam..bar..gue…udah mirip sama yang dibuat Tiarakan?”
Aku mengangguk mengiyakan perkataan Mario.
“Trus, apa jawaban loe?”
“Gue…gue..maafin loe.”
“Makasih ya. Loe emang sahabat gue yang terbaik. Nanti, kalau gue udah sampe di surga, gue bakalan lihatin loe dari atas sana.”
“Emang loe yakin bisa masuk surga? Dosa loe aja banyak sama gue.”
Mario tersenyum. Telah lama aku gak melihat senyum itu. Senyuman yang membuatku aman. Senyuman khas Mario yang gak akan pernah bisa ditiru oleh siapapun. Senyuman yang manis dan tulus.
Aku membalas senyuman Mario.
“Udah lama gue gak lihat loe tersenyum. Biasanya loe marah mulu sama gue.”
“Salah siapa?”
“Gak tahu.”
“Ya salah loe lah.”
“Loe masih nyalahin gue atas kepergian Tiara? Gue kan udah minta maaf.”
“Sepertinya, masih.”
“Kenapa?”
“Tiara itu sahabat gue. Sahabat yang paling gue sayang melebihi siapapun. Dia udah gue anggap sebagai saudara gue sendiri.”
“Emang ada persahabatan yang kayak gitu?”
“Buktinya, gue.”
Tiba-tiba suasana hening sejenak. Hanya suara nafasku dan Mario yang terdengar.
“Loe masih maukan jadi sahabat gue?”
“Hmm..gimana ya…”
“Demi Tiara.”
Deg! Ya, aku ingat pesan terakhir Tiara padaku. Katanya, aku dan Mario harus menjadi sahabat yang utuh, abadi…selamanya. Karena dengan begitu, Tiara bisa tenang meninggalkanku.
Ah…Tiara.
“Demi, Tiara.”Aku mengangkat kelingkingku. Begitu pula dengan Mario.
Forever…”Kataku serentak dengan Mario.
Lalu, kamipun tertawa bersama…..tawa yang hangat dan membuatku bahagia.

***



















Aaaaa….!!!

Matahari pagi telah menampakkan ketampanannya. Burung-burung bersahutan merdu. Pagi ini, aku ada janji dengan Mario. Aku bakalan menemani dia berjalan-jalan. Kasihan Mario, setelah kecelakaan yang menimpa Mario enam bulan yang lalu, Mario gak bisa lagi berjalan  seperti dulu. Hmm….Mario… lumpuh!
Ironis memang. Tapi itulah realitanya. Namun, yang kini ada dipikiranku adalah Chika. Entah kenapa, akhir-akhir ini Chika menjauh dariku. Tiap kali aku ingin ngobrol dengannya, dia selalu menghindar. Aku jadi bingung….padahal aku sudah memaafkan Mario. Tapi kenapa Chika masih marah padaku.
“Mario..”Panggilku dari teras rumahnya.
“Bentar Din…”
Pintu dibuka. Seorang cowok seusiaku keluar melewati pintu yang berwarna coklat tua itu.
Pagi ini Mario mengenakan kaos hijau dan celana pendek.
“Udah siap?”
“Yuk.”
Aku mendorong kursi roda Mario dengan hati-hati. Beberapa saat lamanya, gak ada yang mau membuka pembicaraan terlebih dahulu. Bosan dengan suasana seperti ini, aku menghentikan langkahku di dekat lapangan basket komplek.
“Mar, kenapa ya, Chika gak mau ngomong sama gue?”Tanyaku sambil duduk pinggir lapangan.
Aku bertanya seperti ini, karena aku sangat yakin kalau Mario tahu jawabannya. Sebab, akhir-akhir ini Chika sangat dekat dengan Mario. Terlebih karena mereka satu jurusan di kampus. Oh ya, aku lupa cerita kalau Mario gak jadi ke New York. Dia lebih memilih kuliah di sini. Kalau Dhika? Dia udah lama ke London. Tunggu dulu! Kok Dhika sih??? Gak, aku gak boleh membicarakaan Dhika.
 “Gue juga gak tahu, Din.”
“Kenapa gak tanya?’
“Itukan privacy dia. Gue males nanya-nanya gituan.”
“Payah loe.”
“Oh ya, gimana sama Galang?”
“Maksud loe?”Tanyaku gak ngerti.
“Kapan bunda loe nikah sama papanya Galang?”
“Gak tahu.”Kataku muram.
“Din…”
“Mar, kita gak usah ngomongin ini ya.”
Mario mengangguk setuju.
Samar-samar aku mendengar seseorang memanggil namaku. Aku mencari-cari asal suara itu. Seorang gadis manis berteriak aneh padaku. Gadis itu mendatangiku dan langsung memeluk tubuhku.
“Hei. Apa-apan ini?” Seruku padanya.
“Maafin gue! Gue gak bisa musuhan sama loe…”
Aku membelai rambutnya yang panjang.
“Iya, gue maafin.”
“Gue…salah sama loe.”
“Gak pa-pa.”Aku tersenyum pada Chika.
Leganya hatiku. Sudah gak adalagi beban yang mengganjal. Aku bahagia banget….aku punya sahabat yang banyak. Tiara, lihatlah aku! Coba kalau kamu ada diantara sahabat-sahabatku. Pasti aku akan merasa lebih bahagia lagi.
“Sekarang, gimana kalau kita jalan-jalan.”
“Boleh. Sekarang gantian Chika yang dorongin Mario.”Kataku pada Chika.
“Siiiipppp….”
Kami berjalan beriringan bertiga. Aku dan Chika berlari-lari…persis seperti bersama Tiara dulu. Kami tertawa bersama…meloncat-loncat….
Tapi, sebuah sedan dengan kecepatan tinggi lengsung menabrak Mario tepat di depan mataku.
Gubrakk!! Tung!! Tang!!
“Aaaa….tidak…!!!”Teriak Chika histeris.
Aku menutup mataku. Chika langsung memelukku. Spontan, kami berdua menangis histeris sambil berteriak-teriak minta tolong.
“TOLONG…!!!”
Beberapa warga mendatangi kami dan membantu membawa Mario ke Rumah Sakit. Awas…aku akan buat perhitungan dengan sedan sialan itu.
Tunggu pembalasanku!
***

Senja semakin menua
Ketika kesadaran hadir
Haanya keheningan yang tercipta
Dan itu mmbuatku gelisah

Kau masih tertidur
Namun aku pasti akan membangunkanmu
Walau hanya sejenak…
Lihatlah aku
Agar kita dapat meraih asa bersama…

***

Chika bersandar lesu di bahuku. Kasihan gadis ini, dia begitu terpukul saat Mario kecelakaan. Sejak kemaren air matanya tak henti-henti mengalir dari bola matanya.
“Loe pulang aja, istirahat di rumah.”
“Gak, gue mau nungguin Mario!”
“Loe ngebet banget penen nungguin dia. Loe suka ya sama Mario?”Tanyaku memancing.
Chika melirikku sejenak. Kemudian dia tersenyum.
“Dulu, sih.”
Jadi…dulu, Chika pernah suka sama Mario? Kok bisa?
“Sekarang?”
“Masih seperti dulu.”Kata Chika sendu.
Sahabatku yang malang….
“Sudahlah! Buat apa ini dibicarakan. Gak penting tahu gak. Lagi pula gue tahu kalau Mario itu sukanya sama loe.”
Aku jadi teringat Tiara. Dulukan, Tiara juga suka pada Mario. Tapi sayang, ternyata Mario gak pernah memberi harapan pada Tiara.
“Din…Mario udah bangun!”Seru  Galang padaku.
Aku melihat ke ruang ICU. Dokter keluar dengan senyum tersungging di wajahnya.
“Bu Ana, anak ibu sudah sadar.”
“Ah…makasih ya Allah! Makasih ya dokter.”
“Sama-sama bu. Kalau begitu saya permisi dulu ya.”
“Apa kami sudah boleh masuk dok?”Tanya papa Mario.
“Silahkan pak.”
Dengan segera kedua orang tua Mario masuk ke ruangan aneh tempat Mario terlelap.
Selang-selang infus yang menakutkan, tabung oksigen yang mengerikan. Ah….kenapa aku harus takut, akukan mahasiswi kedokteran, yang nantinya akan melakukan hal yang sama seperti dokter-dokter lainnya.
Setelah satu jam berlalu, orang tua Mario keluar dari ruangan menyebalkan itu.
“Dini…Mario mau ngomong sama kamu.”Seru tante Ana lembut.
“Ya, tante.”Aku melirik Chika yang tersenyum padaku.
Aku menghirup udara yang membuatku tiba-tiba saja pengap berada di dalam ruangan ini.
“Mario…”
“Din, gu..gue mau..ngomong sesuatu sama loe.”Bisik Mario sangat pelan, nyaris tidak terdengar.
Aku mencondongkan kepalaku lebih dekat lagi dengan Mario.
“Sekarang saatnya.”
“Saat apa?”
“Gue akan mengatakan kenapa waktu itu gue merobekkan gambar Tiara.”
“Kenapa?”
Mario menutup matanya.
“Gue ngira gambar itu dari Indra. Gue sangka loe suka sama Indra. Makanya gue merobekkan kertas itu.”
“Apa hubungannya?”
“Gue suka sama loe, Din! Sejak pertama kali gue ketemu loe.”
Deg…!
Deg…!
Ternyata, Mario beneran suka padaku. Astaga! Kenapa aku gak sadar ya? Ku rasakan mukaku mulai memanas. Semburat hangat mengalir di wajahku.
“ Loe selalu baik sama gue. Loe beda dari cewek lain. Loe memandang gue gak seperti cewek-cewek lain!”
“Emangnya gue mandang loe gimana?”Tanyaku sedikit salah tingkah.
“Bukannya gue ge-er, kebanyakan cewek-cewek melihat gue, seolah-olah gue ini seseorang yang sempurna, harus dipuja. Padahal, gue gak suka pandangan seperti itu.”
“Kalau gue?”
“Pandangan loe itu beda. Loe mandang gue sama seperti loe mandang teman-teman yang lain. Loe sulit ditebak, Din. Itu yang membuat gue penasaran sama loe.”
“Udah deh, lupain aja semua itu. Gak penting tahu gak.”
“Din…akh…din…akh…”
“Mario..Mar…Dokter! dokter!”
Dokter dan orang tua Mario masuk ke ruang ICU.
Aku keluar dan langsung memeluk Chika.
“Chika!!!”
“Sabar ya..”
 “Mario!!”Suara teriakkan orang tua Mario membuatku semakin panik.
“Mario…jangan tinggalkan papa…!!!”
Sahabatku, secepat inikah kamu meninggalkan aku?

***




















FLASHBACK : POHON KENANGAN

Pagi kelabu….

Matahari tak lagi menyinari pagi ini. Hanya mendung dan kabut yang mewarnai hari. Mungkin, sebentar lagi awan hitam akan menurunkan hujan ke bumi.Langit turut berduka atas perginya sahabatku. Sahabat, sekaligus orang yang ku yakini sebagai the first love-ku. Aku telah kehilangan Tiara, dan kini…akupun harus kehilangan Mario.
Sejak kemaren, rumah Mario sudah ramai didatangi para pelayat. Tante Ana, Om Tio dan Chika tentunya…gak pernah berhenti menangisi Mario. Namun, hanya aku tampaknya yang tidak ikut menangisi kepergian Mario. Buat apa aku menangisinya? Apa dengan aku menangis Mario bisa hidup kembali? Gak kan?!
Akhhh!! Sebenarnya aku sedih! Amat sangat sedih. Oke, mungkin aku terlalu gengsi untuk memperlihatkan air mataku. Namun jauh di lubuk hatiku…aku sangat kehilanan sahabat seperti dia. Sangat…!
Aku kecewa! Aku ingin marah. Tapi marah pada siapa? Apa aku harus marah pada takdir Tuhan? Gak mungkinkan, aku menentang Tuhan. Lalu siapa yang harus kusalahkan? Ya, hanya ada satu orang yang dapat kusalahkan! Orang yang menabrak Mario! Walaupun masalah ini sudah ditangani polisi, tapi aku berharap aku dapat membalaskan dendamku dengan tanganku sendiri.
Aku menghela nafas berat, seraya menahan tangis yang mungkin akan segera membasahi wajahku. Aku ingin menangis…agar hatiku menjadi lega. Tapi aku gak punya keberanian untuk mengeluarkan air mata itu. Aku terlalu jahat pada Mario! Aku selalu galak sama dia. Aku selalu marah-marah…jutekin dia. Aku gak pernah berbuat baik padanya. Aku selalu menyumpahinya, selalu menganggap dia pembawa bencana. Aku selalu membencinya…menyalahkannya…dan enggan untuk membalas senyumannya. Tapi dia, sama sekali gak pernah membalas kemarahanku. Malah, tiap kali aku memaki-makinya hanya senyuman atau guyonan yang keluar dari bibirnya.
 Dia yang selalu perhatian padaku. Dia yang selalu tahu perubahan-perubahan yang terjadi pada diriku. Dia yang tahu siapa aku sebenarnya. Bahkan saat aku membentaknya, memakinya…dia tetap mengatakan bahwa aku gadis yang baik! Dia tahu kesukaanku…dia tahu warna favoritku. Tapi aku, gak pernah menggubris semua kebaikannya terhadapku. Manusia macam apa aku ini!!!
Tapi semua sudah terlambat. Mario sudah pergi. Dia gak akan pernah kembali lagi…sekalipun aku masih ingin bertatap muka dengannya. Kenapa aku baru sadar sekarang? Kenapa?!!! Kenapa setelah dia pergi aku baru menyadari…bahwa aku…aku…telah…aku…
Akh!!!!
Aku menendang pohon mangga di samping rumah Mario. Aku duduk di bawahnya. Kali ini air mataku benar-benar mengalir dengan deras. Air mata untuk Mario. Persahabatan yang akan selalu abadi…selamanya…
Aku menyeka air mata yang membasahi wajahku dengan kasar. Lalu mendongak memandang rimbunnya dedaunan pohon yang berada di dekatku. Seulas kenangan SMP dulu melintasi benakku…
***
Mario datang membawa tiga gelas juice jeruk beserta camilan yang lumayanlah, untuk mengganjal perut. Camilan kesukaanku….dan kesukaan Tiara.
“Mar, gue mau mangga loe dong.”Pinta Tiara manja.
Mario memberi senyumannya pada Tiara.
“Idih…Tiara manja!”Ledekku usil.
“Huh…biarin! Sirik loe!” Aku tertawa melihat cara bicara Tiara yang lumayan aneh. Ya, namanya juga di depan orang yang dia suka. Jadi, wajarlah!
“Ya udah, sini gue ambilin.”
Dengan sigap, Mario segera memanjat pohon mangga yang sedang berbuah dengan lebatnya.
“Yang gede ya Mar…”
Mario melempar tiga buah mangga ke bawah. Tapi, saat akan turun, Mario menginjak dahan pohon yang lapuk. Dan…iapun terjatuh.
“Au…!!!”Erang Mario kesakitan.
“Mario…loe gak pa-pa kan?”Tanya Tiara cemas.
Ah, Tiara memang benar-benar gadis yang sempurna. Dia sangat perhatian pada Mario.
“Kaki gue terkilir.”
Tiara segera memijat kaki Mario yang terkilir. Namun yang dipijat hanya cengar-cengir jahil. Wah, Tiara dikerjain tuh sama Mario. Bocah gendeng!
“Huh…Mario bohong tuh.”Seruku jengkel.
“Ih…Dini, Mario beneran tau!”Bela Tiara.
“Nih, lihat ya.”Aku mengambil buku catatan Mario yang berwarna biru muda. Tumben-tumbenan buku ini tergeletak begitu saja di atas meja. Biasanya selalu disembunyikan Mario. Aku tahu kalau itu adalah buku harian Mario. Makanya aku akan ngerjain Mario dengan buku ini.
“Mario…ini buku harian loe kan? Gue pengen baca nih. Bolehkan?”Aku akan membuka lembaran pertama, bersiap-siap membaca kalimat pertama yang teruntai indah di baris pertama.
Sejenak, aku melirik Mario terlebih dulu. Aku ingin tahu aja, bagaimana reaksi Mario melihat buku hariannya akan dibaca oleh orang lain.
Mario menatapku cemas…bingung. Seketika wajahnya pucat pasi. Mario segera berdiri dan merebut buku harian ini dari tanganku.
“Ha..ha..”Aku tertawa terkekeh-kekeh.
Tiara menatap Mario dengan geram. Cowok itu hanya cengengesan sendiri, sambil menggaruk-garuk kepalanya yang aku yakin sama sekali tidak gatal.
“Mario…..!!!”Teriak Tiara sebal.
Tiara mengejar Mario yang langsung melarikan diri.
Aku hanya tersenyum getir.
Dan sejak hari itu, aku yakin kalau Mario memiliki perasaan yang sama seperti halnya Tiara. Mereka memang cocok. Dan aku yakin, gak ada satu orangpun yang akan memisahkan mereka….mungkin.
***
Ah…!! Pohon mangga kenangan.
Aku masuk ke dalam rumah Mario. Namun untuk terakhir kalinya aku menoleh kembali pohon kenangan itu seraya melambai. Aku tersenyum pada pohon mangga itu. Mungkin pohon itu akan mengerti maksud lambaianku.
Deg!
Apa benar yang ku lihat ini? Aku mengucek-ngucek mataku. Benar! Ada Tiara dan Mario di sana. Mereka melambai ke arahku…mereka tersenyum. Senyum bahagia…
“Selamat jalan Tiara.”Bisikku pelan.
Aku menarik nafas panjang.
“Selamat jalan, Mario.”
Dan aku melambai ke arah mereka berdua. Lambaian terakhir yang dapat ku persembahkan untuk kedua sahabat sejatiku….
“Gue akan doa-in kalian…”
Dan bayangan itu menjauh dari pandanganku. Terus…menjauh…sampai aku sudah gak bisa lagi melihat bayangan itu.
Bayangan Mario dan Tiara telah pergi…untuk selamanya.
***
















FLASHBACK: JEALOUS…? OH, NO!

Aku menatap jengkel dua sejoli yang berada di hadapanku. Tiara dan…Mario. Sebenarnya aku gak tahu persis kenapa aku harus merasa sejengkel ini melihat keakraban mereka. Entah kenapa.
Aku merasakan ada asap kemarahan keluar dari telingaku. Mukaku memanas. Mengapa ini harus terjadi padaku?
Aku gak pernah menyesali persahabatanku dengan Mario. Yang kusesali hanyalah, mengapa Tuhan mempertemukan kami? Dan mengapa aku dan Tiara harus menyukai orang yang sama?!
“Mario…tahu goreng gue jaangan dimakan dong…”
Mario tersenyum jahil. “Gak pa-pa…katanya sobatan? Masa pelit sih..”
Tiara tersenyum bahagia. Ah, apakah aku tega merebut kebahagiaan itu. Apa aku bersedia mengganti senyum manis Tiara dengan kekecewaan yang mungkin akan aku perbuat, jika rasa ini gak bisa lagi kupendam? Sadar Dini! Mario bukan orang yang tepat! Dia hanya menganggapmu sebagai teman biasa. Yang ada di hatinya hanyalah Tiara. Only Tiara!
Dadaku sesak. Nafasku memburu. Aku sudah gak sanggup lagi menyaksikan ini. Aku berlari menuju kelas, berharap mendapatkan keajaiban, sehingga perasaanku pada Mario dapat hilang tak berbekas.
“Kenapa loe nangis?” Aku menoleh. Mengapa ada Indra di sini? Aku menggeleng cepat lalu menghapus air mata yang dari tadi membanjiri wajahku.
“Ada apaan sih?”
“Ndra…gue…gue..” Tangisku pecah. Aku gak bisa lagi menahannya.
“Udah…” Indra menepuk-nepuk bahuku.
“Gue…gue gak bisa melihat mereka kayak gitu. Hati gue sakit banget!” Kataku terisak.
Aku menyeka air mataku. Indra, mengapa gak dia saja yang aku sukai. Hmm…
***
Aku tertegun menatap malam yang semakin menjemput. Banyak cahaya bintang di sana. Menatapku.
Aku tersenyum getir. Ah, mengapa setelah Mario pergi kenangan itu muncul satu demi satu. Mengapa kenangan itu tidak terkubur saja?! Apa kenangan itu tak rela bila aku melupakan Mario?
Mengingat Mario membuatku menyesal, atas sikapku padanya. Tapi, apa mau dikata. Dia telah pergi. Selamanya…
***













TERNYATA, GALANG ITU….!!

Tiga tahun semenjak kepergian Mario membuat hari-hariku semakin sunyi. Sahabatku yang baik…
Aku jadi rindu masa-masa SMA. Saat aku memarahi Mario, mukul dia…memaki dia…menendang kakinya dan mendorongnya hingga terjatuh. Aku masih ingat sat aku marah-marah pada Putra, nangis bareng dengan Chika. Dan tentunya sedikit kenangan tentang Dhika. Dhika yang kukagumi, yang telah jauh di negeri seberang.
 Oh ya, kemaren Dhika nelpon aku. Dia cerita kalau dia udah punya gebetan di sana. Dia cewek Indonesia yang menurut Dhika mirip banget sama aku. Aku senang dengan perubahan Dhika. Karena Dhika yang sekarang bukan Dhika yang pemalu…pesimis… Dhika sekarang berbeda.
Aku berjalan mengendap-ngendap ke arah bunda. Kemudian aku memeluknya dari belakang.
“Dini…bikin bunda jantungan aja.”
“Maaf deh bunda…”
 Sudah lama-aku gak bermanja-manja dengan bunda. Lagi pula, sebentar lagi bunda akan menjadi milik orang lain. Emang sih, bunda gak pernah menyinggung masalah ini di depanku. Tapi, aku yakin kalau suatu saat bunda bakalan ngomongin masalah ini padaku. Dari pada nantinya basi, lebih baik aku bertanya saja sekarang. Lagi pula, Galang udah hampir empat tahun di sini. Malah, Galang udah jadi dokter di salah satu Rumah Sakit di Jakarta.
“Bunda…”Panggilku ragu-ragu.
“Apa sayang?”
“Dodon mana?”Tanyaku sedikit basa-basi untuk menghilangkan keteganganku saat ini.
“Lagi di atas, bareng Galang.”
“Ooh…mereka akrab ya bunda, udah kayak saudara aja. Malahan sekarang Galang udah sama resenya kayak Dodon.”
“Anggap aja Galang itu kakak kamu sendiri.”
“Emang bentar lagi mau jadi kakakku..”Gumamku pelan.
“Kamu ngomong apaan?”
“Oh, gak bunda…gak ada kok. Bunda salah denger kali…oh ya, menurut bunda Galang itu gimana sih?”
Bunda berpikir sejenak.
“Dia baik, perhatian sama bunda, Dodon…terutama sama kamu.”Bunda mencolek pinggangku.
Kapan dia pernah perhatian sama aku? Rasanya gak pernah tuh…
“Dia gak pernah perhatian sama aku kok bunda.”
“Itu dia, kamu gak pernah nyadar. Kamu lihat deh kenapa Galang suka bawel nyuruh kamu makan, mandi…belajar. Itu semua karena dia perhatian dan udah menganggap kamu sebagai adiknya sendiri. Dia selalu peduli dengan kesehatan kamu.”
“Idih…bodo amat. Yang jelas Galang cowok yang paling bawel….rese..”
Tapi, tetap saja ada yang lebih bawel dan rese dari pada Galang. Ya, dia sahabatku yang telah pergi…ah, aku jadi ingat Mario. Kira-kira dia sedang ngapain ya sama Tiara di atas sana….
Kembali ke dunia nyata. Sekarang saatnya aku bertanya perihal Galang dan Om Farhan pada bunda.
“Galang kapan balik ke Jerman bunda?”
Bunda menatap heran ke arahku.
“Kok kamu ngomongnya gitu? Kamu gak senang Galang tinggal di sini. Galang kan baik, ganteng lagi.”
Apa? Ganteng? Idih….kalau sampai tuh makhluk Mars denger dia dibilang ganteng, wah…gawat!! Bisa langsung terbang ke langit ketujuh si Galang.
“Ya gak ada apa-apa sih.”
“Galang bakalan tinggal di Indonesia, sayang. Lagi pula, dia sudah jadi dokter di sini. Gak mungkin dong dia ninggalin karirnya di sini.”
“Trus, bunda kalau udah nikah sama Om Farhan bakalan tinggal di sini kan?”
Bunda duduk di kursi meja makan. Kemudian beliau tersenyum.
“Kok bunda senyum-senyum sih, emang pertanyaanku lucu ya?”Tanyaku heran.
“Lucu banget! Bunda bingung deh, siapa yang mau kawin sama Om Farhan?”
Jadi…oh, Tuhan! Malunya aku. Mau ditaruh dimana nih mukaku? Nyesel rasanya, kenapa gak dari dulu pertanyaan ini aku lontarkan pada bunda?
“Bukannya bunda?”Tanyaku sekedar untuk memastikan bahwa bunda benar-benar gak akan menikah dengan Om Farhan.
“Gak. Ngaco kamu. Kalau Galang denger bisa dilaporin kamu sama mamanya. Om Farhan masih punya istri tau.”
Wah…tambah kacau nih! Jadi, selama ini aku aja yang  salah sangka. Tapi gak pa-pa deh, dari pada selamanya aku mengira bunda akan menikah dengan Om Farhan, lebih baik aku tahu dari sekarang dong.
“Udah ah…ngapain ngomongin Galang. Kamu suka ya sama Galang…”Goda bunda padaku.
Hah? Suka sama mata kodok kelek kayak dia? Jangan sampai deh…bisa-bisa aku mati berdiri dimarahin dia terus. Sejak aku baikan sama Galang, kira-kira…tiga tahun lalu deh…Galang itu sok jadi kakak aku. Dia itu suka banget ganggu aku. Mentang-mentang kak Doni mau tunangan…trus nikah…eh, malah dia yang gantiin sifat usilnya kak Doni.
“Gak kok…, udah ah.”Ku rasakan semburat hangat mewarnai pipiku. Aku sudah mengira Galang yang tidak-tidak….maaf ya Galang.
Aku melangkah ke kamarku. Membuka pintu dan segera berbaring di tempat tidurku. Ngantuk berat!
***















LUNA…?

Malam, ini adalah malam yang sangat bersejarah bagi kak Doni. Bukan hanya bagi dia seorang, tapi juga bagiku. Karena malam ini kak Doni akan tunangan dengan gadis pilihan hatinya.
Dari tadi pagi aku gak pernah menjauh dari kak Doni. Sampai-sampai waktu Kak Doni mau ke kantor, aku merengek-rengek minta ikut. Alhasil, aku diajak deh. Itu salah satu kelemahan kakakku, dia gak pernah bisa melihat aku menangis. He..he..
Mulanya aku sempat gak rela kak Doni tunangan. Ya, kak Doni baru tunangan. Tapi, aku merasa setelah kak Doni tunangan, dia akan pergi dariku. Dan itu membuatku sedih. Aku masih ingin bermanja-manja dengan kakakku. Tapi…mau gimana lagi. Akukan gak punya hak untuk melarang kak Doni tunangan, atau menikah sekalian. Karena aku hanya adiknya! Gak lebih!
“Galang…cepetan dong!”Teriakku sambil melihat jam untuk yang kesekian kalinya.
“Iya bentar, cerewet banget sih loe.”
“Ya udah, gue tunggu di bawah, ya mata kodok.”Aku sengaja memanggilnya mata kodok. Karena dia paling gak suka sama yang namanya kodok dan Galang juga memakai kacamata.  Soalnya, aku pernah nonton sinetron ditelevisi, kalau ada salah satu pemerannya yang memakai kacamata dipanggil mata kodok.
Aku sebel banget sama tuh orang. Udah bawel, rese, tukang ngancem lagi. Salah apa sih aku harus satu rumah sama monyet kayak dia….
Udah satu jam, tuh anak belum selesai juga berdandan. Sebenarnya Galang itu cowok atau cewek sih? Jangan-jangan dia mau pakai make up lagi. Ih…amit-amit deh…
“Galang! Cepetan lelet!!!”
“Galang!”Dodon ikut-ikutan teriak.
Kasihan kakakku. Dia kan mau tunangan sama ceweknya. Tapi gara-gara Galang, Dodon bakalan telat datang ke tempat tunangannya.
Gak ada pesta. Hanya makan malam biasa dan bertukar cincin. Sederhana bukan?
Terdengar langkah kaki berlari tergesa-gesa dari dalam rumah.
Gdubrak!! Nyungsep…mampus loe! Jatuh kan? Aku dan Dodon tertawa terpingkal-pingkal. Rasain, makanya jadi orang jangan bawel! Kena kan loe!
“Au…”
“Makanya jadi orang jangan lamban.”
“Bantuin dong Din..”
“Idih…sorry ya, bantuin cowok kayak loe? Amit-amit deh.”
“Don…bantuin dong…”Rengek Galang manja.
“Ogah gue!”
Akhirnya tuh mata kodok berdiri sendiri dengan susah payah.
“Makanya kalau punya badan jangan cuma gedenya doang. Berdiri aja susah.”
Sebenarnya Galang gak gendut kok. Cuma aku aja yang hobi ngeledek dia. Soalnya porsi makannya banyak banget sih! Belum lagi camilannya…untung aja Papanya kaya kalau miskin…wah, pertanda kematian tuh. He..he..
“Udah-udah, ayo buruan.”Lerai bunda sambil tersenyum lembut.
“Iya bunda.”
***
Kami masuk ke sebuah café yang cukup mewah. Aku memperhatikan sekelilingku. Rame banget! Wah…mengkilat semua nih. Beruntung juga Dodon dapat tunangan sekaya Luna. Kalau gak salah papanya Luna punya banyak perusahaan di Indonesia, dan beberapa di luar negeri. Hebat euy!
“Yang mana tunangan loe kak?”Bisikku pelan.
“Yang itu!”Kak Doni menunjuk seorang gadis manis yang duduk di dekat jendela.
Oh, jadi itu yang namanya Luna. Hmm…udah kaya…cantik, manis. Kayaknya ramah. Kulitnya putih bersih, tingginya semampai. Rambutnya panjang…hidungnya mancung, ya indo gitu deh.
Aku mengamati wajahnya lekat-lekat. Luna mirip banget sama Tiara. Astaga…kok bisa ya? Jangan-jangan….kalau dunia paranormal memang ada, Luna mungkin reingkarnasinya Tiara.
“Mirip Tiara, kak.”Kak Doni tersenyum padaku lalu mengangguk.
“Kita ke sana yuk.”
Kami melangkah mendekati meja Luna. Di sana ada orang tuanya dan seorang cowok yang kira-kira berumur dua puluhan.
“Malam tante, Oom.”Sapa Dodon ramah.
“Malam nak Doni.”
Kami semua berjabat tangan dan berkenalan sesuai adat istiadat yang berlaku di dalam keluargaku. Kecuali, cowok di samping Luna. Benar-benar gak punya tata krama! Gak sopan!
“Maaf ya jeng saya terlambat.”
“Oh, gak pa-pa kok jeng. Iya kan pa.”Kata mamanya Luna maklum.
“Ya udah pesan makanan aja dulu.”Tawar papa Luna.
Mataku tertuju pada cowok di samping Luna. Sedari tadi cowok itu gak henti-hentinya menatapku. Entah apa yang ada di dalam pikirannya.
Ia mengamatiku dengan seksama.
Aku memandangnya dengan pandangan kurang senang. Tapi cowok itu tidaj ngeh juga. Maka dari itu aku menatapnya tajam. Berharap kali ini ia akan berhenti melihatku seperti itu.
Tapi, dia masih saja menatapku.
“Loe liat apaan sih?”Tanyaku ketus.
Cowok aneh itu terkejut. Tanpa merasa bersalah, dia hanya membuang muka ke arah lain. Tanpa senyum sedikitpun kepadaku.  Gila! Sombong banget sih!
“Dini, kok ngomongnya gitu?”Tanya bunda tajam.
“Abis…dari tadi dia lihatin aku mulu. Kan aku jadi risih, bunda.”
Semuanya tertawa mendengar penjelasanku yang apa adanya. Tapi kenapa mereka tertawa? Aku rasa gak ada yang lucu!
Cowok aneh itu melirikku. Dari matanya, dapat kuketahui bahwa dia bete banget padaku. Siapa suruh lihatin aku seperti itu!
“Maaf ya Dini, Adit memang seperti itu kalau lihat gadis secantik kamu.”Kata mama Luna.
“Oh, gitu ya tante. Dini gak tahu.”Aku melet ke arahnya. Namun cowok itu hanya memandangku sejenak, lalu ia sibuk dengan kertas-kertas yang berada di depannya.
Kasihan banget Luna dapat adik seperti dia. Tampang sih oke, tapi sikapnya…capek deh!
“Kak Doni, emangnya adiknya Luna cuma Adit doang ya?”Bisikku ketelinga Dodon.
“Iya, emang kenapa?”
“Wah, gawat tuh! Aditkan dingin banget. Aneh lagi!”
“Hus! Ada-ada aja loe!”
“Emang aneh kok!”Aku memperbesar volume suaraku dan melirik jengkel ke arahnya.
“Siapa yang aneh?”Tanya Luna sambil tersenyum manis.
“Adit.”Jawabku pendek.
Ups! Keceplosan. Aku lupa…
Aku memandang bunda takut-takut, lalu menoleh ke arah kedua orang tua Luna, terakhir menatap Adit dengan sedikit perasaan bersalah.
“Kamu lucu ya.”Kata mama Luna sambil tertawa layaknya anak kecil.
“Iya.”Sambung papanya ikut-ikutan.
Suasana menjadi ramai karena tawa kami. Kecuali, Adit. Cowok aneh, sok cool!
“Loe ada-ada aja.”
Aku melirik Galang dan tersenyum ke arahnya. Mulai saat ini, aku janji akan menganggap Galang seperti kakakku sendiri. Lumayanlah, dari pada aku kehilangan Dodon dengan cuma-cuma. Lebih baik mencari pengganti kakakku. He..he..
Sekali lagi aku menatap Adit. Kali ini dengan tatapan penuh kemenangan. Namun cowok itu malah tersenyum simpul. Lalu, ia berdiri dan melangkah menuju toilet. Mudah-mudahan dia lama di toilet. Lagi pula tampangnya kan mirip kran air. Ha..ha..

***





KINCIR MUNGIL

Kucoba tuk bertahan…dalam kisah ini
Tak bisakah sejenak…kau jangan pergi…

Alunan musik dari lagu Bertahan menemaniku dalam gelap malam. Malam ini begitu sunyi. Tanpa bintang yang berpendar, ataupun bulan yang bersinar temaram.
Malam ini semakin sunyi saat Dodon sudah gak ada lagi. Sejak tadi sore, Dodon meninggalkan rumah. Katanya, ia mau pergi dinner bareng tunangannya.
Sebenarnya malam ini gak akan terlalu sunyi, bila Galang ada. Mungkin aku akan merasa senang kalau Chika, Putra ataupun Farel berkunjung seperti saat-saat SMA dulu. Tapi, itu hanya khayalanku saja, yang mungkin gak bakalan bisa menjadi kenyataan. Yang pertama, Putra sudah pindah ke Palembang. Yang kedua, Farelpun telah meninggalkan Jakarta sejak setahun yang lalu. Dan yang terakhir, Chika. Akhir-akhir ini Chika sibuk menyusun skripsinya. Maka dari itu, kami jarang bertemu.
Bayangan menyebalkan Galang membuatku rindu akan kekonyolannya. Yang aku gak habis pikir, dimana dia sekarang?
Aku menggeram jengkel dalam hati.
“Dini…”Aku menoleh ke pintu.
Di ambangnya, telah berdiri sesosok manusia yang baru saja membuatku sebel sekaligus jengkel.
Aku berpaling dan menatap lurus ke depan. Seolah-olah ikan mas yang berenang lincah di akuarium amat menarik bagiku.
“Din…”Aku menunduk gelisah. Bukan apa-apa, suasana ini sangat hambar. Membuatku salah tingkah mendengar tiap kata yang keluar dari bibir Galang.
“Din, pandang mata gue!” Galang membalikkan tubuhku, sehingga mataku tak bisa lagi berpaling.
“Oke, gue udah lihat mata loe, trus?!”
“Gue…gue gak bisa ngomongin di sini.”
“Kenapa?”
Galang menggeleng.
“Sekarang, loe ikut gue.”
“Kemana?”
“Nanti loe akan tahu.”
Galang menarik tanganku. Kami berjalan beriringan menuju teras.
“Ngapain loe hidupin mobil?” Tanyaku heran.
“Gue mau ngajak loe kesuatu tempat.”
Aku mengedikkan bahu, lalu naik ke mobil.
Angin malam menerobos tubuh mungilku. Membuatku sedikit kedinginan dan rasa ngantuk.
“Emang ada apaan sih?”
Galang menoleh dan tersenyum padaku.
“Ntar kalau udah sampe, bangunin gue ya?!” Galang mengangguk sambil membenahi letak kaca mata bingkai kotaknya.
***
Deburan ombak memecah sepi. Nyiur melambai digoda angin sepoi. Lampion China menghiasi pantai.
Aku membenamkan kakiku pada timbunan pasir putih seraya menatap kagum pada setiap butirannya yang berkilauan ditimpa rembulan yang mulai menampakkan wujudnya. Mataku tertuju pada keramaian di ujung sana. Sepertinya ada yang menarik.
“Ada apaan sih itu?” Seruku sambil menunjuk ke arah keramaian itu.
Galang mengikuti arah tunjukku. Kemudian ia mengangkat bahu.
“Gak tahu. Ke sana yuk?”
Aku segera bangkit dan membersihkan sisa-sisa pasir yang melekat di kakiku. Beberapa saat kemudian, aku segera berlari ke ujung sana. Tak peduli bahwa Galang sudah jauh tertinggal di belakangku.
“Dini! Tungguin gue dong!”
Aku menoleh dan berhenti sejenak untuk menunggu Galang.
“Lelet amat sih loe.” Gumamku sedikit kesal.
Galang hanya mampu cengengesan gak jelas sambil menarik nafas panjang.
Dengan susah payah aku meloncat-loncat untuk melihat apa yang terjadi dikerumunan itu. Ah, akhirnya…
Aku terkesiap sambil sedikit melotot aneh. Ternyata hanya keramaian yang sama sekali gak penting! Ya, hanya pertunjukan. Sebuah pertunjukan! Sebuah kincir mainan yang terbuat dari kertas aneka warna. Yang bila ditiup akan tampak sangat cantik. Oh, hanya itu. Apa bagusnya?
Emang bagus sih, tapi menurutku…tidak terlalu bagus.
Aku membalikkan badan. Bermaksud meninggalkan tempat ini. Namun sebuah tangan yang sedikit basah mencengkram pundakku. Aku menoleh.
“Dik, mengapa pergi?” Sebuah senyuman ramah yang menyejukkan hati terukir indah di wajah wanita itu.
“Saya gak berminat beli kok Bu.” Tolakku sedikit merasa bersalah.
“Bukan itu maksud saya.”
“Lalu?”
“Apa adik tahu, gadis yang mendapat hadiah kincir ini, kemudian mengucapkan keinginannya…biasanya keinginan itu akan terkabul.” Ujarnya meyakinkan.
Aku berpikir sejenak. Apa benar seperti itu? Tapi kayaknya gak deh. Mana mungkin keinginan akan terkabul hanya dengan kincir ini. Ngaco nih, ibu…
“Makasih bu.” Saat akan berbalik pergi, ibu penjual kincir itu menarik tanganku.
“Jangan pergi, dik. Saya melihat akan ada sesuatu yang menyedihkan yang akan terjadi sama kamu. Tapi, dibalik kesedihan itu ada kebahagiaan yang abadi.”
“Abadi? Aduh bu, jangan ngaco deh. Yang nentuin kebahagiaan kita, ataupun terkabul tidaknya keinginan kita, itu urusan yang di atas. Bukan ibu.” Kataku sinis.
Ibu Penjual Kincir tersenyum.
“Terserah percaya atau tidak, yang jelas sejak pertama saya melihat kamu, saya sudah merasakan hal itu. Kalau kamu mau mencoba, ini…saya beri secara cuma-cuma.” Ibu Penjual Kincir memberikan sebuah kincir berwarna ungu muda dan biru terang padaku.
“Ini, bu.” Aku menoleh saat Galang menyerahkan selembar uang pecahan dua puluh ribu pada si ibu tadi.
Ibu itu menerimanya seraya melangkah pergi ke arah jalanan yang padat akan kendaraan.
Kincir yang berada di tangan kananku, kugenggam erat-erat. Semilir angin nakal membuatnya berputar-putar dan membuatku benar-benar kagum.
Aku mengangkat kincir itu tinggi-tinggi.
“Karena yang beliin kincir cantik ini Galang, aku ingin Galang selalu baik padaku dan dia bisa menggantikan kak Doni.” Gumamku berbisik pada angin.
Galang menatapku penuh harap.
Tapi, apa yang diharapkannya? Tatapannya seperti tatapan Mario. Kenapa sih! Aku selalu membandingkan Mario dengan Galang. Padahal mereka berdua adalah orang yang berbeda! Tapi kenapa, sejak pertama kali aku melihat Galang…aku dapat melihat persamaan yang sangat kontras dari mereka berdua.
“Loe kenapa Lang?”
Galang terkesiap mendengar pertanyaanku yang tiba-tiba saja, membuatnya gelagapan dan salah tingkah.
“Gu…gue…gue…”
“Kenapa?” Tanyaku sambil terus memainkan kincir angin yang cantik ini.
“Besok gue ke Jerman. Nyokap gue sakit. Lagi pula udah empat tahun gue di sini. Gue kangen nyokap.”
Aku menatapnya sambil tertawa terpingkal-pingkal.
“Kenapa loe ketawa?”
“Gak ada. Gue heran aja. Apa urusannya  sama gue. Loe mau pergi kek, atau ngapain, gak ada hubungannya sama gue.”
Ada sinar keterkejutan yang menyelimuti sorot matanya.
“Lagi pula, palingan loe seminggu doang di sana. Iya kan?”
“Gak. Gue mau lanjutin kuliah gue di sana.”
Apa?! Lanjutin  kuliah?!
Aku terenyak. Dunia terasa amat kelam…
Hatiku hancur berkeping-keping. Tangisku bersembunyi di jiwa mati. Dadaku sakit, karena tangis yang tertahan.
“Apa?” Suaraku bergetar menahan perasaan yang bergejolak.
“Besok pagi. Gue harap loe mau menjaga kincir ini, sebagai tanda persahabatan kita.”
“Sahabat? Sejak kapan gue jadi sahabat loe! Gue bukan sahabat loe!” Aku bangkit dan berlari sejauh mungkin. Aku terlalu malu untuk mengungkapkan perasaanku saat ini. Aku gak mau kehilangan sahabatku untuk yang ketiga kalinya. Aku gak mau!
Samar-samar kudengar Galang memanggil-manggil namaku. Namun, hati ini sudah terlanjur kesal dan mungkin…sedikit rasa kecewa.

***










GOOD BYE…

Menyendiri ku di sini
Menatapmu hampa dari kejauhan
Berharap tuk dapat menggapaimu
Ingin mencapai asa bersama

Menyendiri ku di sini
Ditemani kegelapan
Berhiaskan kegalauan hati
Bernyanyikan kegetiran jiwa

Menyendiri ku di sini
Bermandikan tangis…luka
Kepedihan terindah menyelimuti segenap raga
***
Aku masih malas untuk bangun. Padahal, jam dinding yang tergantung tak berdaya di salah satu sisi kamarku sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Tubuhku memang pulang dengan selamat sentosa. Namun hatiku…entah dimana kini.
“Dini..!!!” Terdengar panggilan bunda dari lantai bawah.
“Dini…!”
“Iya, bunda. Tunggu bentar.”
Aku turun dari tempat tidurku. Dan segera menemui bunda yang sangat….baik hati.
“Iya bunda.” Sahutku saat tiba di hadapan bunda.
“Tolong bangunin Galang sama Dodon dong.” Pinta bunda lembut.
“Hah? Galang?!” kataku terkejut. Bunda memandangku dengan tatapan sedikit aneh. Mungkin karena ekspresiku yang terlalu berlebihan saat mendengar nama Galang.
“Kenapa dengan Galang?”
“Gak…bunda gak kerja?” Tanyaku berusaha mengalihkan pembicaraan.
Bunda menatapku dengan tatapan yang lebih aneh lagi. Mambuatku kikuk dan sedikit gelisah.
“Kenapa bunda lihatin aku kayak gitu?”
“Kamu salah minum obat apa sih? Sekarangkan hari Minggu.”
“Ha..hari Minggu. Oh, ya…aku lupa bunda. Biasalah…” Kataku mengelak.
Aku menggerutu kesal dalam hati. Betapa bodohnya aku!!! Kalau sampai bunda curiga, matilah aku!
“Oh, bunda kirain gara-gara tadi malam kamu pergi sama Galang. Oh ya, Galang bentar lagi pergi lho…ke Jerman.”
Aku terdiam mendengar perkataan bunda. Perih.
Kata-kata bunda seperti sindiran ditelingaku, yang membuat hatiku semakin sedih.
“Aku mau bangunin Dodon dulu.” Kataku lesu sama sekali tak bertenaga.
“Cepetan ya.”
“Iya.”
Aku melangkah masuk ke kamar kakakku. Uh! Berantakan banget sih. Kertas-kertas berisi akor-akor yang tidak ku mengerti berserakan di tempat tidurnya. Padahal udah punya tunangan, masih aja kayak gini.
Mataku tertuju pada kertas yang tergeletak tak berdaya di atas meja belajar Dodon.

Dear sahabatku…Andini

Kabut malam telah ku tepis
Bintang telah ku raih
Bulan telah ku bawa ke hadapanmu
Angin takkan membuatmu kedinginan
Hujan takkan berani menyentuhmu
Matahari takkan pernah menyengatmu
Deburan ombak takkan membasahi kaki mungilmu

Aku akan pergi jauh. Mungkin empat tahun lagi aku kembali. Banyak kenangan dan masa-masa menyenangkan yang kulalui bersama kamu dan Doni.
Aku sengaja memberikan surat ini pada Doni. Karena aku yakin kalau aku menyerahkan langsung padamu, mungkin aku gak akan jadi pergi ke Jerman.
Aku bahagia bisa mengenalmu. Kamu adalah gadis yang amat berbeda dari gadis lainnya. Kamu gadis yang cuek, gak tegaan dan sifatmu sulit ditebak. Aku merasa bangga menjadi sahabatmu. Kamu adalah teman terbaik yang pernah ku miliki. Sampai kapanpun aku akan selalu mengingatmu.
Mungkin kamu akan bingung mengapa aku begitu puitisnya, bahkan memanggil kamu dengan aku-kamu, bukan gue-loe seperti biasanya. Itu semua karena aku sadar…kalau kamu adalah orang yang tepat ku panggil dengan sapaan seperti itu. Karena kamu adalah sahabat terbaikku selamanya.
Aku doakan semoga kamu bisa melupakan Mario dan mendapatkan seseorang yang lebih baik dari dia.

Galang


Aku terenyak tak berdaya. Mataku terasa panas…
Surat ini…seperti isi surat Mario. Ya, gak salah lagi! Galang…Galang mirip banget sama Mario. Semuanya! Senyumnya…matanya…
Bukan itu yang ku maksud! Yang ku maksud…
Tatapan Galang. Tatapannya tajam dan membuat keanehan tersendiri di dalam jiwaku. Tatapannya menyebalkan! Membuatku kesal, namun membuatku tersenyum dan merasakan aliran kedamaian…walaupun hanya di dalam hati.
Senyumnya! Senyumannya yang cute yang sanggup  membuat hati para gadis meleleh. Tawanya! Tawa yang memamerkan sederet gigi putih ala Close-up-nya. Begitu tulus dan apa adanya. Tak pernah ada keterpaksaan pada tawa itu.
Dan terakhir, caranya bicara padaku. Mendalam dan membuatku nyaman…tenang…
“Wuaaahhhoom!!” Dodon menggeliat di tempat tidurnya.
Aku menyeka air mata yang hampir membasahi seluruh wajahku.
“Dodon!” Aku mengguncang-guncang badannya.
“Eh…loe Din.” Dodon membuka matanya perlahan. Emang semalam dia tidur jam berapa sih?
“Galang ntar mau ke Jerman ya?”
Yap! Loe ikut kan, nganterin dia.”
Aku menggeleng. “Gak, gue gak bisa. Ntar gue ada janji sama Chika.”
Dodon manggut-manggut. “Ya, udah loe keluar gih. Gue mau mandi nih.”
Langkahku gontai, lunglai. Pandanganku nanar.
Galang. Kenapa nama itu mulai terpatri di hatiku? Apa aku menyukainya? Gak! Aku gak pernah menyukai Galang. Gak pernah, dan gak akan pernah!
Aku menuruni tangga. Di sana, Galang telah berdiri dengan senyumannya. “Hei!” Sapanya ramah. Aku menghentikan langkahku. Terdiam seraya menunduk dalam-dalam.
“Selamat jalan ya.” Kataku sambil tersenyum lirih menatapnya.
“Dini!” Galang menghadang langkahku.“Ada apa sama loe?”
Aku tersenyum simpul. “Loe gak perlu tahu. Gue udah baca kok surat loe.”
Aku menuruni tangga. Menahan tangis yang mungkin akan pecah kalau saja aku tak menahannya sekuat hati.
“Din…!” Galang mencekal pergelangan tanganku. Aku menghentikan langkahku. Menatap matanya yang penuh kesedihan.
“Kamu maukan menungguku.”
“Maksud loe?” tanyaku gak mengerti.
“Aku pengen, orang yang menggantikan posisi Mario dihati kamu itu adalah aku. Ya…walaupun aku gak seperti Mario. Tapi aku janji akan bahagiain kamu.”
Aku menatap lekat matanya. Kurasakan mukaku memanas. “Gue…gue…gue..ngg…hm…”
Oh Tuhan, kenapa aku jadi salah tingkah begini. Apa aku benar-benar menyukai Galang? Atau aku hanya menganggapnya sebagai cowok yang mirip dengan Mario?
“Gimana?” tanya Galang penuh harap.
Aku menghela nafas panjang. “Tapi, loe kan mau pergi.”
“Aku pasti kembali kok.”
Aku merasakan kedekatan dan ketenteraman saat Galang di sampingku. Galang sudah kuanggap sebagai kakakku sendiri. Tapi juga kuanggap sebagai pengganti Mario. Lalu apa yang harus kulakukan? Menolaknya…atau menerimanya?
Aku menatap Galang sekali lagi. Tiba-tiba saja jantungku berdebar tak seirama lagi. Hatiku berdesir lirih, seolah berkata…jangan menyakitinya!
“Gue gak janji, ya. Tapi, gue usahain buat nunggu loe,” kataku  akhirnya.
Galang menatapku tak percaya. “Sungguh????”
“Yap!” seruku sambil mengangguk bahagia.
Dan aku tersenyum lega saat menatap mata teduh Galang yang bersinar-sinar bahagia padaku.

***














PADANG, 29 MEI 2008