Aku merentangkan kedua tanganku sambil menguap menahan kantuk yang masih menjalari tubuhku. Perlahan tapi pasti, aku membuka jendela kamarku dalam keadaan mata terpejam.
Embun masih menetes syahdu menemani makhluk-makhluk yang masih terlelap. Kurasakan udara sejuk menyapa dengan sejuta senyum yang menenteramkan hati. Kudengar burung-burung berkicau seolah menanti mentari pagi dengan bahagia.
“Hoaaahhhmmm..”
Tiba-tiba bayangan Tiara dan Mario melintasi benakku. Masa lalu yang menyenangkan sekaligus menyakitkan. Hmm…
***
Pandanganku menyapu sebuah sudut di kamarku. Tepatnya, di atas meja belajarku yang terbuat dari kayu jati asli, tergeletak lesu sebuah amplop berwarna jingga.
“Amplop apa itu?” gumamku heran. Aku melangkah mendekati amplop itu. Membukanya perlahan.
Sebuah kertas, berwarna putih.
Aku mengamatinya dengan seksama. Sejenak, aku tertegun. Sepasang mata di atas kertas itu menatapku malu-malu. Penuh binar. Sepasang mata dua dimensi yang hanya terbuat dari guratan-guratan pensil.
Rasanya aku mengenal gambar ini…tunggu dulu…astaga! Inikan...aku?! Aku melirik tulisan bertinta emas yang tertera di bawah gambar itu.
“Happy birthday, Dini…”
Ah ya, aku tahu siapa yang membuat gambar ini. Diam-diam aku tersenyum bahagia. Bangga memiliki sahabat sebaik dan seperhatian Tiara.
***
Matahari pagi masuk menerobos kaca jendela kelasku. Membuat beberapa siswa kegerahan dan menyingkir menjauhi cahayanya. Aku menghela nafas panjang sambil terus mencari Tiara. Kenapa Tiara belum datang?
“Hei!”
Sebuah sapaan membuyarkan lamunanku tentang Tiara. Aku menoleh. Oh, Mario. Dia cowok yang telah mengisi hatiku akhir-akhir ini. Namun, ia juga mengisi hati Tiara. Sungguh perasaan yang menyakitkan!
Mario tak puas dengan sikapku yang tidak mengacuhkannya. Ia duduk di kursi sebelahku. Menatapku dengan penuh kekaguman. Aku melirik jengkel padanya.
Aku akui ada sedikit perasaan bahagia saat ia menatapku, tapi…aku harus sadar ada seseorang yang lebih membutuhkan Mario, dan orang itu bukan aku!
“Mario….!!!” Aku menggeram kesal padanya.
“Kenapa sih, sikap kamu dingin banget padaku hari ini? Apa salahku?!”
Aku menatapnya dengan kejengkelan yang benar-benar kuperlihatkan seutuhnya. Kamu tahu betapa menyedihkan, jika orang yang kamu sukai lupa dengan hari jadimu!
“Kamu lupa hari ini tanggal berapa?” Tanyaku tegas.
“Hmm…dua belas April. Emangnya ada apa?”
Aku menatapnya dengan tatapan tak percaya. Hari ini usiaku genap tujuh belas tahun, Mario! Masa hanya Tiara saja yang ingatbahwa hari ini ulang tahunku?
“Kamu sama sekali gak ingat?” Kataku sangat kesal.
Mario menggeleng. “Gak. Emangnya ada apaan sih?”
Oh, sudahlah! Mario bukan sahabatku lagi. Mana ada sahabat yang lupa hari ulang tahun sahabatnya sendiri.
Aku menundukkan kepalaku dalam-dalam. Berusaha melupakan peristiwa mwnyebalkan ini. Tiba-tiba…
“Happy birthday…”
Aku mendongak menatap Mario yang tersenyum kecil melihatku. Mataku hampir saja melotot, karena tak percaya bahwa sahabatku ternyata masih mengingat hari ulang tahunku.
“Kamu ingat?!”
“Mana mungkin aku lupa…. Ini, buat kamu.”
Aku menerima hiasan lumba-lumba yang cantik itu dari tangan Mario. “Makasih ya…” gumamku perlahan.
Aku berjalan di koridor sekolah. Di hadapanku telah berdiri seorang lelaki yang tampangnya cukup memukau dan mengesankan. Dia Indra, kakak kelasku.
Aku menyunggingkan senyuman sekedarnya, lalu berlalu dari hadapannya. “Dini…Apa itu yang kamu pegang, sepertinya menarik.”
Aku menghentikan langkahku dan melirik benda yang berada digenggamanku. “Gambar, Kak.”
“Boleh aku lihat?”
Aku menyerahkan kertas itu pada Indra dengan suka rela. Ia mengamatinya lekat-lekat. “Bagus. Siapa yang buat?”
“Tiara.”
Indra berpikir sejenak. “Hmm…Bagaimana kalau Tiara dijadikan profil majalah sekolah kita kali ini?”
Aku menatap Indra dengan tatapan tak mengerti. “Maksudnya?”
“Tiaranya mana?”
Aku mengedikkan bahu. “Belum datang.”
“Dini…!!!”
Aku menoleh ke arah suara yang memanggil namaku itu. Nah, itu Tiara!
“Kak, itu Tiara” Kataku pada Indra seraya menunjuk semangat ke arah Tiara. Gadis itu berdiri ditepi tangga sambil melambai ke arahku.
Aku melangkah bersama Indra menghampiri Tiara. Aku menatap heran wajah pucat Tiara. Matanya sayu. Tubuhnya kelihatan sangat lemah tak bertenaga. Pasti Tiara habis cuci darah.
Tiara menggamit lenganku. Aku tahu maksud gadis itu. Ah, gosip…kenapa sih, aku harus digosipkan dengan Indra?! “Aku gak ada apa-apa kok sama Kak Indra.” bisikku pelan. kurasakan semburat hangat mengalir deras diwajahku. “Udah dong…aku gak ada apa-apa sama Kak Indra!” ulangku sambil tersipu malu.
“Ada juga gak apa-apa.”
“Tiara mau gak jadi profil majalah sekolah?”
“Maksudnya?”
“Aku udah lihat gambar kamu. Bagus banget… jadi, aku ingin kamu jadi profil majalah kita bulan ini. Gimana?”
“Hmm…boleh deh.”
Aku memeluk Tiara dengan erat. “Makasih kado ulang tahunnya….” Bisikku ditelinganya.
Aku merasakan gelagat yang kurang baik saat mataku menangkap bayangan Mario. Dengan langkah garang, Mario menghampiriku dan Tiara.
Mario merebut kertas itu. Apa yang akan dilakukannya? Apa………
Belum sempat aku melanjutkan perkiraanku, kertas itu telah menjelma menjadi onggokan sampah. Aku menatap Tiara. Tubuhnya semakin pucat. Ia melangkah mundur seraya menatapku dengan pandangan menghiba, seolah membutuhkan pertolongan. Wajahnya suram, nelangsa. “Din…” katanya lirih.
Aku berusaha meraih tangan Tiara. “Tiara….”
Terlambat, gadis itu lebih memilih terjatuh menuruni tangga dengan memilukan. “TIARA!!!” teriakku histeris, nyaris merontokkan atap gedung sekolah ini.
Aku melirik Mario. Wajahnya pucat pasi, nyaris seperti orang yang tidak bernyawa lagi.
Brrraaak!!
Aku mendorong tubuh tinggi tegap itu dengan amarah yang berkobar-kobar. Mario jatuh tersungkur. “Jahat! Gak punya perasaan!” Seruku dalam isak dan tangis.
“Aku…aku…”
“Asal kamu tahu, gambar itu Tiara yang buat! Dan dengan tidak berperikemanusiaan kamu telah membuat kertas itu menjadi sampah! Sahabat macam apa kamu!?”
Mario terkesiap mendengar perkataanku yang baginya seperti tertimpa gunung es. Dingin…menyakitkan…
“Aku menyukaimu, Dini. Aku gak tahu kalau gambar itu dari Tiara. Aku pikir, itu pemberian Indra.”
Aku terenyak. Ternyata, perasaan Mario sama terhadapku? Tapi mengapa harus sekarang dia mengatakan ini?
“Pergi dari kehidupanku, Mario! Pergi,” teriakku lantang, padahal sejujurnya jauh di dalam hatiku ada isakan tertahan dan menyakitkan yang membuatku merasa sangat sesak. “Dan jangan kembali!”
Mario hanya menatapku dengan masygul. Ia menghela nafas panjang dan berbalik…tanpa pernah kembali.
Aku menuruni tangga, menghampiri Tiara yang telah berlumuran darah.
“TIARA!!!”
***
Aku bergegas ke kamar mandi. Pagi ini aku ingin segera sampai di kampus. Aku ingin bercerita banyak pada Indra. Tentang rinduku pada Tiara yang telah pergi jauh…
Juga tentang Mario yang menghilang tanpa jejak….
***