Aku
memandangi foto itu dengan luka. Nestapa yang menyelimuti jiwa. Hampir saja aku
menangis saat mengingat kenangan itu. Telah sejak lama aku ingin mengubur
kesunyian dalam hati. Namun entah mengapa bayangan itu hadir kembali. Siluet
buram yang ingin kubunuh agar tak ada lagi derita yang menyesakkan dada.
“Diana….Kamu
sedang apa, Sayang?”
Aku
menoleh lembut pada wanita paruh baya itu. Memberi sebuah senyuman yang cukup
untuk membuatnya merasa tenang. Tanpa kusadari air mata menetes membasahi
wajahku. Hangat, tapi semakin menyesakkan dada.
Aku
menatap mata teduh ibu sejenak. Ia tersenyum penuh haru. Seolah mengerti akan
kegetiran yang kurasakan.
“Diana,
Ibu tahu kamu sedih. Tapi jangan sampai berlarut-larut seperti ini. Tidak baik,
Nak! Dia pasti akan kembali untuk menemuimu. Dia tidak akan pernah mengingkari
janji yang telah diucapkannya.”
Aku
menarik nafas dalam-dalam, lalu menghembuskannya dengan perlahan. “Aku tidak
sedih, Bu.
Hanya mengenang yang telah lalu. Aku tidak yakin dia akan kembali menemuiku. Itu mustahil! Sama mustahilnya seperti ibuku yang tak akan pernah hidup kembali.”
Hanya mengenang yang telah lalu. Aku tidak yakin dia akan kembali menemuiku. Itu mustahil! Sama mustahilnya seperti ibuku yang tak akan pernah hidup kembali.”
“Anggaplah
aku sebagai ibu kandungmu, Diana. Aku sangat menyayangimu. Aku akan selalu
menjagamu semampuku. Aku akan melindungimu dari segala yang bisa membuatmu
menangis.”
Ibu
mendekatiku sambil tersenyum. Ia membelai rambutku penuh kasih dan sayang. Lalu
memelukku dengan erat. Membuatku merasa nyaman dan tak ingin pergi dari
dekapannya.
Diam-diam
air mata kembali mengalir di pipiku. Pikiranku melayang kemasa lalu. Masa yang
suram penuh kenangan manis. Kenangan yang mungkin harus kulupakan, tapi tak
akan pernah bisa terlupakan.
***
Dua tahun lalu…
Aku bersandar di bahu
Devan. Berusaha memulihkan perasaanku yang telah mati. Air mataku masih
mengalir deras sejak berjam-jam yang lalu. Mungkin beberapa jam lagi air mataku
akan terkuras habis dan sampai kapanpun aku tidak akan pernah bisa lagi
menangis.
Devan membelai
rambutku penuh emosi. Aku tahu bahwa ia merasakan kepedihan yang sama denganku.
Mungkin lebih.
“Diana…mama pasti
sembuh. Kamu harus yakin,” kata Devan lembut padaku.
Aku mendongak menatap
mata jernih Devan yang berwarna kecoklatan. Mata yang selalu menatapku penuh
kasih. Mata yang selalu ingin melindungiku dari segala hal yang bisa
menyakitiku.
Air mata semakin deras
mengalir di pipiku. Segera kuseka dengan punggung tangan kananku. Aku tidak
boleh membuat Devan sedih dengan keadaanku. Penyakit mama sudah cukup
membuatnya terpuruk.
“Kak…” aku
memanggilnya lirih.
Devan menatapku
lekat-lekat. Lalu sebuah senyuman bertengger manis diwajahnya. “Ada apa?”
“Kalau mama pergi,
Kakak jangan tinggalin aku ya. Aku tidak punya siapa-siapa lagi selain Kakak.”
Dapat kulihat mata
Devan berkaca-kaca. Sulit baginya untuk menahan gejolak emosinya di dalam dada.
Mungkin ia terlalu malu untuk menangis. Namun kesedihannya tidak dapat
dipungkiri. Dari sorot letih matanya, ada ketakutan dan kecemasan yang
terpancar jelas.
“Apapun yang akan
terjadi, aku akan selalu di sisimu.”
Aku tersenyum lirih.
“Makasih, Kak. Aku pegang janji Kakak.”
Malam itu aku lewatkan
untuk saling bertukar cerita. Telah lama rasanya aku tidak bermanja-manja
dengan Devan. Dia masih seperti dulu. Devan yang pintar, rajin dan dewasa.
Betapa bahagianya aku memiliki seorang kakak seperti Devan.
***
Pagi
hangat kulewatkan penuh duka. Bukan karena mama yang masih dirawat, ataupun
kondisi Devan yang kurang baik. Ini hanya karena seseorang yang tidak terlalu
penting dalam hidupku, tapi sanggup membuatku merasa tak karuan.
Pandanganku
tertuju pada sosok yang sedang melamun di depan kelasku. Diam-diam aku menangis
perih dalam hati. Andai saja dia mau mendengar penjelasanku. Pasti tak akan
seperti ini akhirnya. Mengapa dia tak pernah percaya padaku? Padahal aku selalu
mengatakan yang sebenarnya padanya.
Aku
melangkah pelan ke kelasku. Dengan harapan Adit tidak melihat kedatanganku.
Tapi aku salah. Adit sengaja menungguku di depan kelas hanya untuk membicarakan
sesuatu. Sesuatu yang mungkin akan membuatku semakin sedih.
“Aku
perlu bicara sama kamu,” katanya datar tanpa ekspresi.
Aku
menundukkan kepala dalam-dalam. Hening sejenak. Hanya kebisuan yang menyelimuti
kabut emosi.
“Diana,
tatap mataku!” Adit mengangkat daguku penuh emosi.
Aku
ingin menatap mata jernihnya. Namun aku tak sanggup. Terlalu banyak kenangan
yang tersimpan di mata itu.
“Kenapa
kamu tidak berani? Jujurlah padaku, kalau waktu itu kamu memang bersalah! Aku
masih menyayangimu, Diana! Tolong jangan buat aku menderita dalam
ketidakpastian!”
Aku
mendongak untuk menatap mata Adit. Mata yang dulu penuh pendar bintang telah
berganti dengan kabut hitam yang menyesakkan dada.
“Dit,
asal kamu tahu. Aku tidak pernah membohongi kamu. Aku selalu berusaha jujur
sama kamu! Kamu yang selalu menuduh aku berbohong! Sebenarnya mau kamu apa?
Kita udah selesai, udah putus! Jangan kamu dekati akau lagi kalau hanya untuk
membuatku semakin sedih. Aku mohon!” Aku berkata penuh emosi. Aku sudah tak
sanggup lagi menutupi sakit hatiku padanya.
“Apa
kamu tidak bohong?”
“Terserah!
Yang jelas aku sudah mengatakan yang sebenarnya padamu.” Aku menatap matanya.
Tajam. Hingga aku dapat merasakan bahwa Adit sedikit salah tingkah karena
merasa bersalah.
Adit
membalas tatapanku dengan lembut. Telah sirna kabut gelap yang menyembunyikan
sepasang mata indahnya. Pendar bintang yang selalu kunanti telah kembali.
Membuatku sedikit lebih tenang.
“Kalau
kamu nggak ada yang mau dibicarakan lagi, aku permisi dulu.”
Adit
mencekal pergelangan tanganku. “Diana, aku belum selesai!”
Aku
menggigit bibir. Menahan isak tangis yang mungkin akan pecah beberapa saat
lagi. “Dit, aku udah jujur sama kamu. Dia itu kakakku, Devan! Terserah kamu mau
percaya atau tidak. Aku tidak mau melabuhkan hatiku dengan orang yang tidak
pernah mempercayaiku!” kataku tegas sambil berusaha melepas cekalannya yang
semakin kuat.
“Dit!”
bentakku kesal.
Adit
melepaskan cekalannya. “Aku masih sayang sama kamu. Aku minta maaf, karena
sudah menyakiti hatimu. Saat itu aku benar-benar tidak tahu apa yang terjadi
pada diriku. Aku hanya ingin kamu tahu, kalau besok aku bakalan pindah ke London . Aku sudah
memutuskan untuk sekolah di sana dan melupakan kenangan kita.” Adit menarik
nafas panjang, lalu menghembuskannya dengan lembut. “Aku tahu kamu tidak akan
mungkin bisa melupakan aku. Begitu juga aku. Sampai kapanpun kenangan yang
telah kamu berikan untukku tak akan pernah bisa kukubur.”
Aku
terkesiap. Batinku bergejolak. Jiwaku bersorak.
“Ke
London?” ulangku tak percaya.
Adit
mengangguk pasti. Matanya menyiratkan kesedihan dan kekecewaan. Aku tersenyum
getir. Biarlah kupupus rasa ini. Jika itu memang yang terbaik untukku dan
Adit..
“Diana,
kamu mau memaafkan aku?” Adit tersenyum penuh permohonan.
Aku
mengangguk. Walaupun di hati ini ada sesak yang mendalam, namun aku tidak akan
memperlihatkan semua ini pada Adit.
“Terima
kasih karena kamu pernah mengisi hatiku. Walaupun akhirnya tidak menyenangkan,
tapi aku cukup bahagia,” kataku lirih.
“Mungkin
aku akan kembali menemui kamu suatu saat nanti. Kalau ternyata hatiku memang
milikmu, aku pasti kembali.”
Sekali
lagi aku tersenyum padanya. Dengan langkah pasti aku masuk ke dalam kelas yang
tiba-tiba terasa sunyi dan menakutkan. Semua mata menatapku penuh tanya. Aku
tidak tahu apa yang ada dibenak mereka, tapi yang jelas mereka tidak berusaha
bertanya yang macam-macam padaku. Karena aku yakin, tiap pertanyaan mereka akan
membuat air mataku mengalir membasahi wajahku.
***
Aku
memandangi wajah mama yang tebujur kaku di atas kasur. Tak akan ada lagi
senyuman yang selalu menantiku di rumah. Aku tak akan pernah merasakan belaian
kasihnya. Tak akan pernah mendengarnya memanggil lembut namaku.
Aku
tidak menangis. Hanya ada setitik air mata yang menghiasi wajahku. Air mataku
tak pernah habis, sekalipun selama berhari-hari belakangan ini aku selalu
menangis. Namun entah mengapa aku sama sekali tidak ingin menangis. Aku tak
tahu.
“Ma,
hati-hati di sana …”
gumamku sambil tersenyum padanya.
Aku
membelai lembut rambut panjang mama. Lalu mengecup lembut pipinya. Aku bahagia karena akhirnya mama bisa pergi
dengan tenang. Kasihan mama, selama bertahun-tahun hidup dalam belenggu
penyakit yang tidak pernah mau beranjak dari tubuhnya. Namun sekarang mama telah
terbebas dari tali kematian yang menakutkan itu.
Devan
berbisik di samping jasad mama. “Selamat tinggal, Ma…”
Aku
melirik Devan penuh emosi. Sama halnya denganku, Devan sama sekali tidak
terlihat sedih. Dari tadi ia tersenyum pada semua pelayat yang datang, tanpa
memperlihatkan perasaannya yang sebenarnya.
Aku
berbisik lirih dalam hati. Akhirnya mama pergi. Selamat jalan, ma. Aku akan
selalu berdoa agar mama selalu di sisi-Nya. Suatu saat nanti aku pasti akan ke sana . Menemui mama dan
papa. Aku pasti akan merindukan mama. Terutama masakan mama…pelukan mama…senyum
mama…Tunggu aku, ma. Kak Devan juga akan mengunjungi mama. Nanti kita akan
berkumpul seperti dulu lagi. Tertawa bersama…piknik bersama…tunggu aku, ma.
***
Bayangan
itu masih setia merasuki hatiku. Bayangan dia yang telah menyakiti hatiku.
Walaupun Adit telah jauh di sana. Namun tak dapat kupungkiri bahwa hatiku masih
miliknya.
“Diana,
Adit pasti menemui kamu…”
Aku
tersenyum pada ibu. “Dari mana Ibu tahu kalau aku merindukan dia?” tanyaku
penasaran sekaligus bingung.
“Dari
Devan. Dia yang mengatakan semuanya padaku. Devan sangat menyayangimu. Dia
selalu ingin yang terbaik untukmu. Sekarang, hapus air matamu. Devan pasti
sedih kalau melihatmu menangis seperti ini.”
Aku
tersenyum lagi. Kali ini dengan sedikit emosi yang cukup membuat darahku
berdesir.
Ibu
tersenyum penuh arti. “Kamu harus yakin, Adit pasti kembali.”
“Dia
tidak akan pernah kembali, Bu.”
Aku
mendengar langkah kaki dari luar. Langkah berat yang sangat kukenal. Langkah
yang selalu membuatku berdebar tak karuan.
Dengan
segenap perasaan yang masih dirundung duka, aku membuka pintu untuk mengetahui
siapa yang datang. Aku berharap pemilik langkah itu bukan sosok yang kumaksud.
Namun
betapa terkejutnya aku saat menyadari bahwa sosok yang kutunggu ada di
hadapanku. Dia ada di sini! Tepat di depanku!
Ia
tersenyum penuh rindu. Hangat dan penuh binar kebahagiaan.
Aku
berusaha menahan tangis. Namun gagal. Air mata telah mengalir di pipiku,
membasahi seluruh wajahku.
Adit
mendekatiku. “Jangan menangis. Aku tidak bisa melihat kamu menangis.”
Aku
menatapnya lekat-lekat. Di mata itu masih ada kilau bintang yang berpendar
terang. Masih ada keteduhan yang dapat membuatku bahagia. Masih ada ketulusan
yang membuatku merasa damai.
Dia
telah kembali, untukku. Hanya untukku.
***