SEBENARNYA CINTA




“Aaaa……”
Sebuah teriakan yang berasal dari bibirku segera membuat orang-orang di rumahku panik, termasuk bunda.
“Keyla, ada apa Sayang…”
Aku menoleh. Kemudian memamerkan sederet gigi putihku yang indah. “Nggak kenapa-kenapa kok, Bunda.”
Sekali lagi kuberanikan diri memandang jam dinding yang tergeletak tanpa nyawa disalah satu sisi kamarku. “Bunda kenapa gak bangunin aku?” tanyaku manja.
Bunda menghela nafas panjang sembari mengulas senyum manisnya. “Dari tadi Bunda udah bangunin, gimana sih…”
Oh Tuhan! Apa yang harus kulakukan. Sekarang sudah jam setengah tujuh! Dan itu artinya bel di sekolah akan berbunyi tidak lebih dari lima belas menit lagi. Memang sial! Dan yang lebih sialnya lagi, hari ini ada ulangan!
“Lekas mandi, biar Bunda yang nganterin kamu ke sekolah.”
“Makasih, Bun.”
***
Aku melangkah persis seperti maling.
Perlahan tapi pasti, aku melewati meja guru piket. Aku tidak terlalu sial hari ini, karena Pak satpam yang sok bersih itu tertidur pulas di mejanya.
“Keyla!”
Aku menoleh. “Saya, Bu?”
Ternyata aku benar-benar sial! Bu Maria, guru yang super killer adalah guru piket hari ini. Seperti biasa, para murid yang terlambat tidak akan pernah mendapat toleransi dari janda centil ini! Kecuali kalau Pak Budi, guru olahraga yang masih muda itu lewat di depannya.
“Keyla! Memangnya ada berapa Keyla di sekolah ini?!” Serunya marah.
“Ya, saya sendiri Bu.”
“Kamu tahukan, apa hukumannya?”
Sebuah ide muncul di benakku.
“Bu, tadi saya ketemu Pak Budi, lho…Dia nitip salam buat Ibu. Sebenernya tadi saya berangkatnya bareng beliau, makanya saya terlambat.”
Tiba-tiba wajah Bu Maria melunak. Ia tersipu malu. “Yang benar?”
Kena, dia!
“Iya, Bu.”
“Bilang padanya, lain kali jangan terlambat lagi. Sekarang kamu masuk kelas!”
“Mkasih Bu. Saya doakan Ibu jadian sama Pak Budi. Terus….”
“Udah, sana…”
Masalah yang satu sudah beres. Sekarang menghadapi Bu Tania. Kalau Bu Tania sih, gampang….
Brakk!!
Aku terjatuh. Alamak, sakit banget! Siapa sih yang barusan kutabrak? Manusia atau raksasa?
Aku mendongak, sedikit terkejut saat mengetahui siapa yang kutabrak tadi. Sosok yang kutabrak adalah anak kelas sebelah yang sangat menyebalkan. Dengan segera aku berdiri.
Ia menatapku tanpa mau berpaling.
“Ngapain loe liat gue seperti itu?”
Sejenak ia tersenyum. Cukup manis. Pantas saja banyak gadis-gadis yang menyukainya. Tapi, tidak denganku. Jangan harap aku bakalan suka padanya!
“Hai Key, terlambat ya?”
Aku mendengus kesal mendengar perkatannya.
“Menurut loe?”
“Menurut gue loe terlambat.”
Tanpa pikir panjang lagi aku melaangkah menjauh dari bocah tengil yang akhir-akhir ini mencoba mendekatiku dengan segala tingkah anehnya. Menyebalkan. Namun yang kuherankan, mengapa banyak yang mengatakan kalau aku sangat beruntung karena bisa didekati oleh dia? Hmm…
Richard mencoba menyamai langkahku. “Key, kenapa sih loe menghindar terus dari gue?”
Aku menoleh padanya. “Emang gitu, ya?”
“Iya. Apa loe tahu, gue itu…hmm…suka sama loe.”
Deg!
Aku menghentikan langkahku. Perasaanku tak karuan. Pikiranku kacau. Detak jantungku sudah tak seirama lagi. Kurasakan pipiku mulai memanas.
“Loe mau gak jadi…hmm…loe tahukan maksud gue?”
Richard menatapku lekat-lekat. Membuatku takut untuk membalas tatapnnya.
“Gue…”
Please…apapun yang loe minta bakal gue kabulin. Gue janji!”
Kayaknya asyik nih, apa aja yang aku minta? Aku bakalan ngajak dia jalan-jalan ke Jepang. Aku pengen merasakan musim semi di Jepang. Piknik di bawah hangatnya bunga sakura. Ya, aku ingin sekali. Apa dia mau?
“Liburan ini gue mau loe ngajak gue ke Jepang. Gimana? Terus tiap pulang sekolah loe harus ngantarin gue, ngajak gue jalan-jalan…pokoknya gue pengen senang-senang. Dan loe tahukan, giman cewek kalau pengen senang-senang?”
“Apapun itu! Gue pasti bahagiain loe, I promise.”
Mataku hampir saja melotot saking terkejutnya.
Aku menatap matanya. Tiada kebohongan di sana. Hany permohonan dan ketulusan yang bersinar hangat, dan membuatku menjadi damai.
“Pulang sekolah loe tunggu gue di parkiraan.”
“Makasih. Ternyata gak sia-sia perjuangan gue selama tiga bulan ini deketin loe. Loe tahu gak, sebenarnya gue udah lama suka sama loe. Sejak SMP malah. Tapi gue masih belum yakin dengan perasaan gue, makanya gue…”
“Ntar aja curhatnya!”
Aku baru ingat kalau aku pernah satu SMP dengan Richard. Masa bodo, yang penting aku bisa memanfaatkan kekayaannya! Ha…ha…
***
“APA?! RICHARD UDAH NYATAIN KE ELO?”
Yui segera menutup mulut Aulia. “Jangan norak, deh. Semua orang juga tahu kalau selama kelas tiga ini, Richard naksir sama Keyla. Wajarlah, kalau dia menyatakannya pada Keyla. Kalau dia sampai bilang cinta ke elo, itu baru gak wajar.”
“Sorry, abisnya gue kaget. Loekan tahu sendiri kalau selama ini Richard terkenal dengan kegantengannya….kehebatannya…dan gue gak nyangka sobat gue yang mirip monyet ini bisa mendapat berkah yang sangat besar. Kalau tuh cowok nembak Silvia, gue masih bisa tenang. Nah ini???”
Aku menjitak kepala Aulia dengan gemas. “Emang gitu kenyataannya.”
“Terus loe jawab apa?”
Aku tersenyum. Lalu mengangkat bahu tanpa beban sedikitpun. “Belum tahu. Menurut loe?”
Aulia menghabiskan sisa siomaynya. “Terima aja deh. Diakan tajir, keren lagi.”
“Tapi gue gak ada perasaan sama dia.”
“Perasaan mah, belakangan. Yang penting uangnya…he…he..just kidding!”
“Kalau gue terserah loe, Key.”
“Ya, udah…gue terima aja kali ya….”
Siang yang terik. Aku duduk disalah satu bangku kayu didekat pelataran parkir. Sembari menanti sosok yaang kutunggu, aku sibuk membayangkan liburan manisku ke Jepang.
Richard gak akan kuajak. Aku hanya minta dia bayar ongkosnya saja…ha…ha…
“Hai, Key…”
Senyum itu…membuatku tak rela untuk menyakitinya. Tapi, kesempatan tak datang dua kali, lho…
“Hai, langsung aja ya. Gue…nerima loe. Tapi, gue pengen pas liburan nanti kita ke Jepang. Oya, gue juga mau ajak Aulia dan Yui. Gimana?”
Richard tersenyum bahagia. “Gak masalah…”
“Jadi, kemana acara kita hari ini?” Kataku datar.
“Nonton? Belanja? Loe pengennya ke mana?”
Aku berpikir sejenak. “Gue mau belanja.”
“Ayo.”
***
DUA BULAN KEMUDIAN…

“Udah berapa koleksi baju sama sepatu loe sejak jadian sama Richard?”
“Kalau gak salah….hampir lima puluhan deh.”
“Gile loe!”
“Itu sih belum seberapa, gue bahkan mau ke Jepang liburan nanti.”
Aulia dan Yui terbelalak kaget. “Yang bener?”
“Yap…pokoknya, aku bakalan ngerjain dia dan habisin hartanya!”
“Key, menurut gue, dia bener-bener sayang sama loe. Mendingan loe jujur aja deh sama dia. Kasihan Richard!”
Aku terdiam nendengar perkataan Yui. Apa aku harus bilang padanya kalau aku benar-benar menyukai Richard?
“Atau loe beneran suka sama dia?”
Aku terkesiap. Apalagi saat Aulia menatapku dengan pandangan curiga. Aku makin salah tingkah dan tanpa bisa kucegah, kurasakan pipiku mulai memanas.
Aulia dan Yui tersenyum. “Wajar kok…”
“Apaan sih loe, gue itu gak suka sama dia. Gue itu cuma ngabisin hartanya Richard. Itu doang kok!”
“Ah, gue gak percaya!”
“Terserah.”
Aku melangkah pergi meninggalkan kedua sahabatku. Mataku tetuju pada sosok yang amat kukenal. “Tatsuya?!”
Matilah aku bila dia sampai mendengar perkataanku tadi! Bagaimana kalau dia menyampaikannya pada Richard? Dan cowok yang telah mengisi relung hatiku itu percaya, lalu ia minta putus!
Aku tak bisa membayangkannya!
“Gue gak nyangka loe setega itu! Lihat apa yang akan dilakukan Richard setelah gue menyerahkan rekaman ini!”
“Jadi…loe ngerekam semuanya?”
Tatsuya mengangguk penuh angkuh.
“Itu gak seperti yang loe denger! Gue….”
Ada apaan sih?”
Aku menoleh. Pangeranku!
“Kebetulan, ini ada sebuah pengakuan yang sangat menarik.”
Pangeranku menatapku dan Tatsuya bergantian.“Apa?”
Dan kaset itu mulai berputar. Memperdengarkan perbincanganku dan kedua sahabatku.
Aku menatap Richard penuh kasih. Namun ia hanya membuang muka.
“Gue…gue…” Aku bahkan tidak sanggup untuk mengatakan yang sejujurnya padanya.
“Udahlah Key, mulai sekarang kita putus!”
Deg!
Kata-kata itu bagai petir disiang bolong bagiku. Pipiku mulai memanas. Kurasakan butiran-butiran bening mulai membasahi separuh wajahku. “Gue….benar-benar sayang sama loe, gue….”
“Makasih loe udah membuat gue bahagia, tapi gue terlanjur kecewa sama loe.”
Aku berlari meninggalkan tempat itu. Terus, tanpa ingin sekalipun menatap ke belakang.
Hatiku hancur.
Dadaku nyeri.
Aku tak tahu lagi harus berbuat apa. Namun yang kutahu, sejak hari itu aku tak pernah lagi melihat Richard di sekolah. Hanya itu.
***