TATAP BINTANG, dan PANGGIL NAMAKU LIMA KALI
Aku membuka jendela kamar dengan risau. Kutatap
rembulan yang bersinar penuh dengan cahayanya yang kian menantang. Sementara
bintang, seolah ikut menghiasi keheningan malam hampa ini. Sayup-sayup kudengar
suara desiran ombak yang menghempas pantai dengan garang. Mungkin ia ikut
merasakan kekalutanku saat ini.
Lama kutermangu menatap jauh pantai. Kubiarkan
angin malam mempermainkan rambutku. Kubiarkan udara dingin menyusup masuk
ketiap denyut nadiku.
Aku menarik nafas pelan. Pikiranku semakin jauh
melayang. Entah kemana. Satu-satunya yang kuingat,
kuingin ponselku berbunyi dan ada telpon dari dia. Hanya itu. Tak lebih. Tapi keinginan itu seolah sirna ditelan gelap malam. Saat kutatap jam diniding yang tergantung tanpa daya di salah satu kamarku.
kuingin ponselku berbunyi dan ada telpon dari dia. Hanya itu. Tak lebih. Tapi keinginan itu seolah sirna ditelan gelap malam. Saat kutatap jam diniding yang tergantung tanpa daya di salah satu kamarku.
Sudah jam
segini. Mana mungkin ia akan menghubungiku. Sudah dua tahun tak ada kabar
darinya. Apa sebenarnya yang sedang terjadi dengannya? Sakitkah dia?
Aku memejamkan mata. Membaringkan diri di tempat
tidur. Berusaha mengembalikan segala pikiranku yang mungkin tertinggal padanya.
Kupeluk boneka beruang kesayanganku. Kemudian, akupun hanyut ke dalam bayangan
masa lalu.
♪♪♪
Dua tahun
lalu
Aku duduk di tepi pantai. Menatap lurus ke depan.
Menikmati mentari yang kian menua. Menunggu kilauan senja yang menakjubkan dan
membuatku hangat.
Aku menundukkan kepala dalam-dalam. Kututup
wajahku dengan kedua tanganku. Kurasakan mataku mulai memanas. Isakan mulai
terdengar dari dalam hatiku. Luka semakin membekas dan tak dapat kuhindarkan
lagi.
Andai saja aku tidak terlalu egois. Aku yakin ia
kini masih ada di sampingku. Membuatku tersenyum dengan segala kekonyolannya.
Membuatku tertawa ketika ia mulai bertingkah aneh. Membuat kedinginan terasa
hangat saat ia menatapku.
Akh!
Mengapa ia begitu sulit kulupakan? Apa yang terjadi padaku? Dia bukan
siapa-siapaku. Ia hanya teman yang kebetulan kukenal lewat dunia maya. Hanya
itu, tak lebih. Namun kenapa aku merasa hancur saat ia tak lagi ada di
sampingku?
Aku mengambil ponsel dari saku celanaku. Kutatap
layarnya yang berkedip. Sebuah nama yang membuatku mengerti arti persahabatan
dan cinta. Aku diam. Membiarkan ponselku yang terus bernyanyi riang.
“Hallo,” kataku akhirnya.
“Kemana saja kamu? Lama banget ngangkat
telponku?” sahut Rufan sedikit kesal.
Aku diam. Suara Rufan yang biasanya dapat membuat
kegundahanku mencair dan mengembalikan kecerianku, kini tak lagi. Aku tak mampu
untuk berkata. Aku hanya berusaha agar isakanku tak terdengar olehnya.
“Helen, kamu kenapa?” tanya Rufan mulai cemas.
“Aku…” perkataanku terhenti. Aku tak sanggup lagi
untuk bicara. Karena aku yakin, satu huruf saja yang ke luar dari bibirku, akan
membuat tangisku semakin pecah. Dan aku malu bila Rufan tahu aku menangis,
apalagi hanya gara-gara seseorang yang sebenarnya tidak begitu penting dalam
hidupku.
“Helen, walaupun aku jauh, walaupun kita tidak
pernah bertemu, walaupun kita berteman hanya lewat surat dan telepon, tapi aku tahu bagaimana
kamu. Kita udah berteman cukup lama, Helen. Kamu jangan bohong dari aku. Aku
tahu apa yang sedang kamu rasakan.” Rufan diam. Dapat kudengar helaan nafas
berat di ujung sana .
“Kalau kamu masih menganggap aku sahabat kamu, ceritakan masalahmu padaku.”
Suara Rufan yang lembut dan jernih membuatku
hanyut dalam perasaan. Rufan sudah terlalu baik padaku. Ia selalu ada buatku.
Ia yang mengajarkan semua hal yang selama ini tak kuketahui. Bahkan tentang
cinta, persoalan yang selama ini menjadi momok yang sangat menakutkan bagiku.
“Aku…sedih banget, Fan…” kataku dengan suara
bergetar. Aku memejamkan mata. Berusaha tenang dan menghentikan tangis.
“Apa yang menyebabkan kamu seperti itu? Mana
senyummu, Helen?”
Aku tersenyum. “Aku sedang tersenyum.”
Kudengan suara tawa dari seberang. Rufan, ia
selalu bisa membuatku tersenyum. Ia memang sahabat yang baik.
“Ha..ha… Baiklah, sekarang ceritakan masalahmu.”
“Aku sedih. Sahabatku sudah lama tak
menghubungiku. Aku tak tahu apa yang terjadi padanya. Yang jelas, sebelum ia
menghilang, ia hanya berpesan agar aku mencari kekasih yang dapat membahagiakan
aku. Hanya itu.” Aku menarik nafas panjang. Dalam dan penuh perasaan
menyakitkan. “Aku nggak mau kehilangan sahabat seperti dia. Dia sangat baik.
Sama seperti kamu. Kamu dan dia selalu membuatku tertawa dan mereasa menjadi
diriku sendiri.”
Tak ada suara kudengar dari mulut Rufan.
“Fan, kamu masih di sana
kan ? Kamu
masih mendengarkan ceritaku?”
“Ya, tentu Helen. Kamu adalah sahabatku. Tapi,
apa kamu akan seperti itu juga kalau yang pergi itu aku? Apa kamu juga akan
mencemaskanku? Apa kamu akan mencariku Helen?”
Tanpa aku melihat wajahnya, aku dapat merasakan
ketakutan yang sangat jelas dari suaranya. Tiba-tiba aku merasa sangat jauh
dari Rufan. Seolah ia akan meninggalkanku. Pergi untuk selamanya.
“Rufan, tentu saja aku juga mencemaskanmu. Kamu
dan dia sahabatku sampai kapanpun!” kataku tegas.
“Tapi aku merasa kamu menyukainya, Helen. Apa
kamu memiliki rasa padanya? Apa kamu ada hati dengannya? Apa benar Helen? Jujurlah
padaku, Helen!” Rufan memberondongku dengan pertanyaan yang membuatku sulit
untuk menjawabnya.
Aku terdiam lama. Apa aku menyukai Mario? Apa aku memilki rasa untuknya? Apa dia selalu
ada di hatiku? Tidak! Itu tidak mungkin. Aku tidak akan menyukai Mario,
kemaren, sekarang ataupun esok. Aku hanya mencemaskannya, tak lebih.
“Aku tak pernah menyukainya, Rufan. Mungkin dia
sibuk, atau sekarang dia sudah punya pacar.”
“Helen, bukan kali ini saja kamu menceritakan
Mario padaku. Kamu selalu menceritakan Mario padaku. Tentang kesukaannya, semua
tentang dia. Kamu…”
“Rufan! Aku tak suka padanya. Aku tahu mana yang
pantas kusukai dan mana yang pantas kujadikan sahabat! Sahabat lebih berarti
bagiku. Kamu, Mario, sama saja. Kalian sama-sama sahabatku. Aku tak mau
kehilangan salah satu di antara kalian.”
“Helen, maafkan aku. Huk, huk…”
Aku menggigit bibir. “Penyakitmu kambuh lagi?”
“Ngg….nggak. Aku cuma batuk biasa saja.”
“Terserah kamu.” Kataku ketus.
“Ayolah Helen…Kamu jangan ngambek.
Huk..Huk…Helen, sudah dulu ya.”
Klik. Sambungan diputuskan.
Aku berpikir sejenak. Tidak seperti biasanya Rufan seperti itu. Apa batuknya semakin parah?
Kenapa dia tidak mau bercerita tentang penyakitnya padaku? Apa dia juga akan
meninggalkan aku?
♪♪♪
Aku melangkah lesu. Memandang sekelilingku denagn
tidak bergairah. Pagi ini kelas terasa sepi. Tak ada lagi yang menyapaku,
mengajakku ke kantin untuk sarapan. Aku ingin seperti dulu lagi. Seperti satu
bulan yang lalu.
“Helen…”
Aku membalikkan badan. Senyumku mengambang saat
kudapati sosok yang kutunggu telah berada di depanku.
“Mario! Kemana saja kamu?” kataku kesal.
Mario tersenyum. “Aku ke Jakarta menjenguk sepupuku yang sakit. Kamu
kangen banget ya sama aku? Aku emang ngangenin sih!” Mario mengangkat alis
matanya.
Kurasakan pipiku memanas. “Kangen? Kepedean
kamu!”
“Hehe… Tahu nggak, aku sedang jatuh cinta! Di
Jakarta aku bertemu dengan seorang gadis yang cantik banget. Dia tipeku banget.
Udah pintar, tinggi dan menggemaskan. Aku rasa aku suka sama dia.”
Aku diam. Segala harapanku pada Mario luntur
seketika. “Terus? Kamu pasti udah dapat nomor handphonenya? Iya kan ?”
Mario tersenyum senang. Sejenak, tawanya semakin
melebar. Memamerkan sederet gigi putih yang terawat. “Aku bahkan sudah jadian
dengannya. Dan apa kamu tahu, ternyata dia akan pindah ke Padang !” Mario menarik nafas dalam-dalam.
Kemudian tersenyum lagi. Bahkan lebih girang. “Astaga, aku tak menyangka kalau
nasibku akan semenyenangkan ini!”
Lututku terasa lemah. Dadaku sesak. Pandanganku
kabur. Hatiku seolah tercabik-cabik. Aku butuh Rufan, hanya Rufan yang dapat
menenangkanku.
Kenapa aku
jadi begini? Kenapa perasaanku jadi campur aduk seperti ini? Mario bukan
siapa-siapaku, aku tak berhak melarang dia punya gadis impian. Aku hanya
seorang sahabat, tak lebih. Harusnya sekarang aku ada buatnya. Tapi aku tak
bisa! Aku tak bisa, sekalipun logikaku ingin melakukannya!
“Selamat, Mario. Aku senang akhirnya kamu
memiliki pacar.” Kataku dengan suara bergetar.
“Terima kasih, Helen. Mulai sekarang, kita tak
bisa lagi pulang bersama. Aku tak bisa menjemputmu pulang sekolah, mengajakmu
makan siang. Soalnya, kampus Julia agak jauh dari kampusku.” Mario tampak
sangat menyesal.
Tapi apa peduliku. Dia telah memiliki gadis
impiannya. Dia memang sahabatku, dan akan tetap menjadi sahabatku.
“Ya, aku ngerti. Mana ada anak kuliahan seperti
kamu yang mau berteman denagn anak SMA sepertiku. Iya kan ?”
Mario terbelalak. “Bukan itu maksudku. Kamu
tahukan, aku sudah lama tidak memiliki pacar, dan sekarang aku menemukan gadis
impian yang sangat kudambakan. Suatu ketika, kamu akan merasakan hal yang sama
dengan apa yang sedang kurasakan. Helen, aku tahu kamu tidak pernah jatuh
cinta, tapi aku yakin, kamu akan mengalaminya.” Mario melirik jam tangannya
sekilas. “Aku ke kampus dulu ya. Tapi sebelumnya, aku akan menjemput Julia
dulu. Jaga dirimu baik-baik.”
Aku menundukkan kepala dalam-dalam. Bukan suatu saat nanti aku jatuh cinta, tapi
sekarang. Aku telah memiliki seseorang yang ingin kupatri dalam hatiku.
Walaupun aku masih ragu, tapi aku tak sanggup saat kamu menyatakan kalau kamu
telah memilih gadis itu!
Aku ingin sendiri. Melupakan semuanya.
Meninggalkan segala kenanganku bersama Mario. sahabat dunia mayaku, yang
semakin lama menjadi sahabat nyataku. Dan terus berlanjut, hingga ia menduduki
tempat di hatiku.
“Helen?”
Aku ingin tersenyum pada sosok itu. Kukira ia
adalah Mario yang lebih memilih aku daripada pacar barunya. Tapi aku salah.
Makhluk yang ada di depanku adalah…
“Rufan?” desisku tak percaya. Kupikir aku hanya
akan berteman dengannya lewat dunia maya, tapi ternyata, kini ia ada di
depanku.
“Kamu tahu padaku?” katanya sambil tersenyum
jahil.
“Friendstermu kan ada padaku. Tapi sepertinya fotomu
sangat berbeda dengan yang asli.” Sahutku ikut tersenyum.
“Kamu terkejut karena aku yang asli jauh lebih
gantengya? Haha… Ya iyalah…”
Aku tertawa renyah sambil menarik rambutnya dan
mencubit pipinya. Dia tak berubah. Kekonyolan dan caranya berbicara padaku
membuatku merasa sedikit melupakan Mario.
“Bukan itu. Kamu kelihatan pucat dan lemah. Apa
batukmu itu belum…”
“Huk..Huk..Huk.. Aku tidak apa-apa. Hei, kamu
tambah jelek saja. Aku tahu, kamu pasti merindukan aku. Iya kan ? Huk.. Huk..”
Aku menatap Rufan dalam-dalam. Dari sorot matanya
dapt kuterka kalau ia memiliki beban yang sangat berat. Kali ini aku tak
berniat membalas perkataannya. Aku malah mencemaskan keadaannya.
“Dengan siapa kamu ke Padang ?”
“Sepupuku. Aku ingin bertemu kamu, walaupun hanya
sebentar…” Rufan menarik nafas pelan, dan memegang dadanya. Besok aku akan
kembali ke Bandung .
Jaga dirimu.”
“Enak aja. Kamu nggak boleh pergi. Kalau kamu pergi,
aku akan marah sama kamu. Kamu pernah janji, kalau kamu datang ke Padang , kamu mau kuajak
jalan-jalan. Jadi…”
“Maaf, Helen. Huk.. Huk…”
“Rufan, kamu nggak bisa pergi!” aku mulai cemas.
Ketakutan luar biasa menggerogoti hatiku.
Rufan tersenyum dan mengacak-acak rambutku. Lalu
ia pergi. Menjauh, entah kemana. Kepergian yang membuatku sakit dan menyesakkan
dada. Bahkan lebih terasa pedih, daripada saat Mario menghilang tanpa kabar.
“Kamu jahat, Rufan! Aku benci sama kamu!”
teriakku keras. Aku tak peduli pada semua mata yang menatap heran padaku. Aku
tak menggubris panggilan teman-temanku yang mungkin takut melihat sikapku
seperti ini.
Kini aku sendiri. Tak ada sahabat tempatku berkeluh
kesah lagi. Semauanya pergi meninggalkan aku. Tanpa alasan yang dapat kuterima
dengan akal sehatku. Mereka menganggapku benalu dalam kehidupan mereka. Mereka
merasa susah karena telah mengenal gadis egois sepertiku. Ya, pasti itu alasan
mereka meninggalkanku.
♪♪♪
Ternyata itu adalah pertemuan pertama dan
terakhirku dengan Mario dan Rufan. Bahkan adalah pembicaraan terakhirku dengan
mereka. Tak ada satupun di antara mereka yang ingin menjadi sahabatku lagi.
Mereka seolah menjaga jarak denganku. Biarlah. Biar saja mereka pergi dengan
kehidupan mereka masing-masing. Mereka sudah tidak peduli lagi padaku. Lantas
kenapa aku harus peduli pada mereka?
Ah, Rufan. Aku sangat menyayangkan kepergianmu.
Ponselku berbunyi nyaring. Tanpa melihat siapa
yang menelepon, aku segera mengangkatnya.
“Hallo, siapa ini?” kataku pelan.
“Huk..Huk… Ini aku. Kamu masih ingat denganku kan ?”
Seketika harapanku membuncah. Aku seolah terlahir
kembali mendengar suara itu. Semua kekhawatiranku mendadak sirna entah kemana.
Ia kembali. Ia masih mengingatku sebagai sahabatnya.
“Mana mungkin aku lupa padamu.” Kataku denagn
suara bergetar.
“Aku akan pergi. Huk… Huk.. Jaga dirimu
baik-baik. Kalau kamu merindukanku, tatap bintang dan sebut namaku lima kali.”
“Kamu akan datang kalau aku sebut namamu lima kali?” tanyaku
sambil tertawa.
“Ya, aku akan melihatmu dari atas. Melambaikan
tangan dan akan memanggil hujan untukmu. Kamu suka hujan kan ?”
Aku mengangguk, namun bingung dengan segala
ucapan Rufan.
“Maafkan aku karena aku telah membuatmu khawatir.
Aku tahu, kamu adalah orang yang gampang panik. Aku yakin kamu membenciku
gara-gara masalah dua tahun yang lalu. Aku pergi, padahal aku telah berjanji
untuk ikut padamu kalau aku datang ke kotamu.”
Aku semakin bingung. Suara Rufan begitu
menyedihkan. Pelan, lembut dan penuh penderitaan. Seakan ada luka yang
menyertai setiap perkataannya.
“Kenapa kamu menghilang begitu saja?”
“Aku sakit. Tak ada obat yang dapat menyembuhkan
penyakitku. Hanya tawamu yang dapat menghidupkan kembali semangatku.”
Aku tercekat. Darahku berdesir. Deguban jantung
tak dapat ku atur lagi. “Kamu sakit apa?” tanyaku menahan tangis. “Kenapa kamu
baru bilang padaku sekarang? Aku tak mau kamu pergi meninggalkan aku. Aku tak
punya sahabat sepertimu lagi.”
“Helen, aku juga tak ingin seperti itu. Tapi aku
tak bisa egois. Tuhan telah hiba melihat deritaku menahan luka ini. Aku rasa
aku akan pergi. Aku mohon, jangan pernah lupakan aku sebagai sahabatmu.
Huk…Huk..” Rufan terdiam lama. “Helen, aku ingin jujur padamu. Sebenarnya, aku
huk… huk… telah memiliki seorang huk… huk… kekasih. Maafkan aku selama ini huk…
huk… telah membohongimu.”
Perasaanku semakin tak karuan. Rufan sahabatku
telah membohongiku. Sama seperti Mario.
Tak ada
yang dapat kusalahkan dalam masalahku. Semuanya mengalir begitu saja. Ia tak
salah. Bukankah dari awal ia memang hanya ingin menjadikanku sahabat?
Tapi
mengapa hatiku terlalu sakit saat kudapati kenyataan bahwa ia telah memiliki
seorang kekasih? Ia memang telah membohongiku dengan status tanpa pacarnya
diawal perkenalan kami. Namun, kenapa aku harus mendapatkan kejujuran itu
sekarang?
Aku memang
bodoh!
Namun apa
salah, kalau aku ingin memilikinya? Apa aku tidak benar, kalau ternyata aku
menyukainya? Disaat aku baru pertama kali merasakan perasaan ini, hatiku terasa
tercabik karena kejujurannya. Ketika aku ingin melangkah meninggalkan bayangan
masa lalu yang selalu membuatku takut mengenal cinta. Ia membohongiku!
Aku sadar,
ia hanya menganggapku sebagai sahabat, tapi tiap perkataannya saat ia bercerita
tentang para gadis yang sedang disukainya, membuatku jijik mendapati kenyataan
bahwa aku menyukainya.
Tangisku pecah. Tanpa dapat kutahan, air mata
membasahi pipiku. “Fan! Rufan! Bangun! Bangun …. Kamu sahabatku satu-satunya.
Jangan pergi. Kumohon….”
Terdengar helaan nafas berat dari seberang.
“Maafkan aku. Aku…Helen…Huk…Huk…”
“Rufan! Rufan!....”
Telepon terputus. Dan aku tak tahu apa yang
terjadi padanya. Yang jelas, saat aku membuka face booknya, ada banyak ucapan turut bela sungkawa atas kepergian
Rufan.
Selamat jalan, Rufan.
♪♪♪