Aku duduk disalah satu
undakan pasir putih di pantai Padang .
Sembari menatap senja yang kian menua, aku melempar kerang kecil yang tampak
olehku ke laut lepas.
Pandanganku melayang
jauh. Lurus, menebas samudera. Detik ini, bulan telah menyembul malu-malu di
balik awan. Bintangpun telah berpendar terang menghias cakrawala.
Aku mendongak menatap
temaram bulan yang berada di atasku. Purnama pertama dibulan Februari. Walau
cahayanya temaram, namun tetap membuat hatiku gundah dibalut kegelisahan.
Aku tersenyum getir,
sembari mengingat sebuah janji. Janji yang panjang. Janji abadi di bawah sinar
purnama pertama dibulan Februari.
Seulas kenangan dimasa
lalu menari-nari di benakku. Kenangan dia. Dia yang kutunggu hingga detik ini.
Dia yang selalu membuatku tersenyum. Dia yang selalu bersemayam di lubuk
hatiku. Dia yang selalu merasuk kemimpi khayalku, dan dia yang telah
meninggalkanku dengan sebuah janji yang menyakitkan.
Aku berjalan menyusuri
pantai yang mulai disinari gemerlapnya lampu jalanan. Hatiku berbisik lirih. Di
mana dia? Lupakah dia dengan janji itu?
Mataku tertuju pada
lampion di ujung jalan sana .
Lampion yang selalu kubawa saat bermain di bawah sinar rembulan. Lampion yang
selalu kupegang erat saat aku dan dia melewati jalanan yang gelap. Lampion yang
menjadi simbol persahabatan kami. Ah! Mengapa dia begitu sulit untuk
dilupakan?
***
Dinda menatapku penuh
emosi. Pandangan matanya tajam seakan menohok jantungku. Dapat kutangkap
semburat kebencian mengalir deras diwajah manisnya.
“Semua ini gara-gara
kamu! Kalau kamu nggak pernah bertemu dia, pasti dia nggak akan pernah menyukai
kamu. Dia akan memilih aku daripada kamu! Kamu penyebab dia selalu bersikap
dingin padaku! Harusnya kamu menjauhinya!” Dinda berteriak sambil mendorong
tubuhku dengan kasar hingga nyaris terjatuh.
Aku menghela nafas
panjang. Berusaha untuk tidak termakan emosi. “Dinda, Farid nggak pernah
menyukaiku. Dia hanya menganggapku sebagai teman.”
Dinda menggigit bibir.
Berusaha menahan tangis yang menyesakkan dada. “Kalau dia memang tidak
menyukaimu, kenapa dia selalu menghindar dariku? Sementara dia selalu
mendekatimu!”
“Sekali lagi aku
tegaskan, aku hanya berteman dengan Farid. Nggak lebih!”
“Kamu bohong! Aku muak
dengan sikapmu yang pura-pura tidak menyukai Farid. Kamu munafik!”
“Dinda, aku nggak seperti
itu.” Aku mendekati gadis berambut ikal itu dengan perlahan. Tapi ia semakin
menjauh dariku.
“Bohong! Kamu sukakan
sama Farid!”
Aku terkesiap mendengar
tuduhan Dinda padaku. Untuk beberapa saat, kami diam tak bergeming. Hanya detak
emosi dan sesak di dada yang mengisi kesunyian.
“Nggak, Din. Farid itu
sahabatku.” Aku meraih tangan Dinda, mencoba memecah ketegangan diantara kami.
Namun, gadis itu menepis tanganku.
“Kamu pembohong! Kenapa
kamu tega padaku? Aku kira selama ini kamu mau memberiku kesempatan untuk
mendapatkan Farid. Tapi ternyata, kamu nggak sebaik yang kukira. Aku nggak mau
lagi berteman denganmu!” Dinda berlari meninggalkanku dengan mata berkaca-kaca.
Dinda, Farid itu
sahabatku! Bahkan sebelum kamu mengenalnya…sebelum kamu menyukainya. Walaupun
aku tahu bahwa Farid tidak pernah menyukaimu, aku rela bila kamu bisa bersatu
dengannya. Karena aku tahu, bahwa kamu benar-benar tulus menyukainya.
Mungkin...melebihi perasaanku padanya.
Farid datang
menghampiriku seperti biasa. Aku menoleh ragu-ragu padanya, saat tangannya
menarik novel yang tengah kubaca. Ia tersenyum manis saat pandangan kami
bertemu. Oh, Tuhan sanggupkah aku menyakitinya? Mampukah aku untuk
menjauhinya?
Aku menghela nafas
panjang sambil berusaha menghimpun seribu kekuatan. Aku harus mengatakan semua
ini pada Farid. Aku harus melupakannya. Mungkin berkorban demi Dinda dan
perasaanku yang tidak akan pernah terbalas.
“Far, jauhin aku ya. Aku
mohon, jangan dekati aku lagi.”
Farid tampak sangat
terkejut mendengar perkataanku. Aku menatapnya penuh permohonan. Namun ia hanya
membuang muka.
“Far, jauhin aku. Aku
mohon,” ulangku lirih.
Farid tidak menggubris
perkataanku. Aku menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya dengan
perlahan. Sehingga aku bisa merasakan kehangatan perih yang membelenggu hatiku.
“Aku mohon, jauhi aku!”
“Kenapa Lian? Kenapa kamu
bicara seperti itu? Apa karena Dinda?”
Aku mengangguk lemah.
Membuat emosi di dalam jiwaku semakin bergejolak pedih. “Dinda nggak senang
kalau kamu terus-terusan bersahabat denganku. Mungkin ia mengira kalau aku
menyukaimu. Padahal, bagiku kamu hanyalah seorang sahabat yang baik, nggak
lebih.”
Farid termenung mendengar
perkataanku, mungkin sangat menyakitkan baginya. Maafkan aku Farid…ini demi
persahabatan kita…dan demi perasaanku yang tak akan pernah mungkin kuungkapkan
padamu.
“Tapi Lilian, kamu itu
sahabatku sejak kecil. Hanya kamu sahabat yang mengerti aku. Kamu yang selalu
ada untukku. Aku nggak mungkin bisa jauh dari kamu. Lagi pula, Dinda bukan
siapa-siapaku. Aku nggak pernah menyukainya.”
“Tolong, sekalipun kamu
nggak suka padanya, tapi hargai perasaannya!” seruku tegas. Aku ingin berlari
menjauh dari situasi ini. Keadaan ini membuatku pilu dalam isak dan tangis
tertahan.
“Aku nggak bisa.”
“Pergi!” teriakku kesal.
Farid menatap kecewa
padaku. Tatapannya menyayat hati. Di wajah itu, tidak ada lagi senyum manisnya.
Telah hilang semua keceriaan yang selama ini menghias mata teduhnya. Biarlah
kupupus perasaan ini. Mungkin ini adalah suratan takdirku. Menderita demi
kebahagiaan dia, yang selalu dihatiku.
Farid masih menatapku.
“Pergi! Jangan dekati aku
lagi!”
Farid meninggalkanku
dengan langkah gontai. Aku benar-benar telah melukai perasaannya. Aku yakin, ia
akan membenciku selamanya.
Aku berbisik lirih dalam
hati. Sahabatku, kamu berhak membenciku. Aku akan senang kalau kamu bahagia
bersama orang yang kamu sayangi. Walaupun di bibirmu kamu mengatakan tidak
menyukainya, namun aku yakin, sedikit banyaknya nama Dinda telah bersemayam di
hatimu. Sahabatku…Biarkan aku sendiri, walau hati kecilku menginginkan kamu
tetap di sampingku, namun aku rela bila kamu bahagia bersama gadis itu.
Aku melangkah pergi
membawa keping-keping kehancuran hatiku. Hatiku bagai teriris sembilu saat
menyadari bahwa aku telah mengusir Farid pergi dari hatiku. Namun aku berharap,
bahwa keputusan yang kuambil ini benar dan tidak akan menyakitiku dikemudian
hari.
Malam itu dibulan
Februari, tepat saat cahaya purnama pertama menyinari bumi. Farid menghampiriku
dengan wajah muram dibalut kesedihan yang terpancar jelas dari sorot matanya.
“Lilian…selamat ulang tahun ya.”
Aku menoleh heran
padanya. Ulang tahunkukan besok. Mengapa Farid mengucapkan selamat ulang
tahun sekarang? Apa yang telah terjadi pada Farid? Mengapa wajahnya sesuram
ini?
Walau berbagai pertanyaan
berkecamuk di benakku, namun aku tidak berani membuka suara menanggapi ucapan
Farid. Bibirku terlalu kaku untuk bersuara. Akhirnya, aku hanya menunduk
menatap pasir putih yang berkilauan ditimpa sinar rembulan.
“Lilian…,” panggil Farid
lemah.
Aku menghela nafas
panjang. Tanpa ingin menoleh dan menggubris panggilannya. Aku takut, saat
mataku menatapnya hanya kepedihan yang akan kurasakan. Kepedihan yang akan
membuatku semakin tidak ingin menyakitinya.
“Lilian, lihat aku!”
Farid mengguncang lemah bahuku dengan kedua tangannya.
Aku menoleh sedikit.
Betapa renyuh batinku saat kudapati mata Farid berkaca-kaca memohon padaku.
Mata itu…oh, aku tak
sanggup untuk menyakiti mata teduh yang menyimpan sejuta kedamaian di dalamnya.
Aku tak kuat bila harus terus menghindarinya, apalagi menyakitinya. Aku tak
bisa membohongi perasaanku. Aku tak akan pernah bisa mengingkarinya, sekalipun
aku ingin mengubur rasa ini.
Kali ini aku menatap
Farid lekat-lekat. Perasaanku tak karuan. Hatiku berdesir gelisah. Jantungku
berdetak tak seirama. Tubuhku bergetar hebat. Aku mencoba menghentikan perasaan
ini dengan menarik nafas panjang. Namun aku masih tetap gelisah…gundah…resah…
Farid tersenyum samar.
Membuatku semakin takut kehilangannya.
“Besok pagi aku akan
pergi ke London .”
Aku terenyak mendengar
perkataan Farid yang membuat aliran darahku seolah berhenti. Getaran hebat yang
sedari tadi kurasakan seolah sirna begitu saja. Pandanganku hampa. London,
kota yang jauh dari sini. Apa Farid akan kembali?
Aku tak bisa menutupi
kesedihanku. Perasaanku tak dapat kuhentikan. Sejenak aku menatap lekat-lekat
mata teduh Farid. Berusaha mencari kebohongan dari perkataannya tadi. Namun aku
keliru. Farid tidak pernah membohongiku.
Farid tersenyum getir.
“Aku sudah mengatakan pada Dinda, kalau aku nggak pernah suka sama dia!” Farid
mendongak menatap rembulan beserta kilau bintang yang berpendar terang. Sejenak
ia terpekur, membuktikan kesedihannya yang mendalam.
“Ke..ke..kenapa kamu me..menolak
Dinda?” tanyaku dengan suara bergetar.
Terdengar desiran angin
pantai dan helaan nafas Farid berpacu dalam kepedihan yang sama.
“Karena ada seseorang
yang telah mengisi relung hatiku semenjak aku kecil.”
Farid menatapku
lekat-lekat.
Dag…dig…dug…jantungku
berdebar dengan lebih kencang. Nafasku memburu. Ya Tuhan, apakah Farid
menyukaiku? Tapi mengapa baru sekarang? Mengapa saat aku berusaha menjauhinya,
aku baru menyadari bahwa dia memiliki perasaan yang sama denganku! Mengapa
tidak dari dulu aku mengetahuinya?
“Lian, suatu hari nanti
aku akan datang menemuimu. Mungkin sepuluh tahun lagi, tepat dihari ulang
tahunmu saat purnama pertama dibulan Februari. Datanglah ke pantai ini, maka
aku akan menemuimu dan mengatakan rahasia terdalamku.”
Aku ingin berlari.
Meninggalkan dunia fana penuh sandiwara ini. Aku ingin angin tahu bahwa hatiku
telah mati. Aku ingin dunia tahu kalau aku tersakiti. Aku ingin berteriak,
melepas gundah dalam hati. Namun, sekonyong-konyong hanya air mata yang
mengalir deras dari sudut mataku.
Farid tersenyum untuk yang terakhir kalinya. Ia melambai,
kemudian berlalu dari hadapanku. Bayangannya semakin menjauh…jauh…hingga tak
bersisa lagi.
***
Aku kembali duduk di undakan pasir putih pantai Padang . Hatiku mencelos
saat kudapati keadaan masih sama seperti tadi. Hanya ada aku di sini, sendiri
menatap rembulan. Tampaknya janji Farid hanya bualan semata. Janji yang membuat
penantianku sia-sia. Janji yang membuat perjuanganku terbuang dengan percuma.
“Kincir kertas, Dik.”
Aku menoleh melihat seorang penjual kincir kertas mini yang
berada di hadapanku. Aku tersenyum hampa. Dulu, Farid pernah membelikanku
kincir yang serupa, berwarna jingga. Saat ulang tahunku yang kesembilan, di
bawah sinar rembulan.
“Terima kasih, Bu,” tolakku sambil mengulum senyum padanya.
Ibu itupun berlalu, membiarkanku kembali sendiri menunggu saat-saat paling
menyedihkan dalam hidupku. Ketika Farid, benar-benar melupakan janjinya.
Aku memandang hamparan samudera yang indah. Hmm…andaikan
Farid menemaniku untuk berbagi asa, sambil menatap laut yang menyimpan sejuta
rahasia di dalamnya.
“Kalau kincir yang ini bagaimana?”
Aku menoleh ke belakang untuk menolak tawaran suara itu. Aku
terkesiap. Lebih tepatnya, melongo konyol saking terkejutnya.
“Farid?” desisku tak percaya. Aku menatapnya penuh haru. Mata
itu masih teduh…masih menyimpan sejuta kedamaian di dalamnya. Senyumnya masih
seperti dulu, sebelum ia pergi meninggalkanku.
“Happy birthday…Lian…aku gak ingkar janjikan?” Farid
menyerahkan sebuah bingkisan dan sebuah kincir mini, berwarna…jingga.
“Makasih Far,” kataku seraya menerima bingkisan itu.
Farid duduk di sampingku. “Lian, kamu ingin tahu rahasia
terdalamku?”
Aku mengangguk penuh semangat.
“Sejak kecil, aku telah memiliki tambatan hati. Seorang gadis
yang namanya telah terpatri abadi di sudut hatiku. Dulu…aku sempat sedih saat
ia menginginkan aku menjauh darinya. Aku hampir putus asa. Tapi ternyata…”
Farid tersenyum penuh makna seraya menatapku dengan seksama.
“Ternyata apa?”
“…gadis itu gak pernah meninggalkanku. Tapi, aku yang
meninggalkannya.”
“Dan gadis itu selalu menunggumu. Berharap janjimu bukan
bualan semata. Dan kini, janji itu benar adanya.” kataku lirih penuh haru.
Kami terdiam. Farid menatapku dalam-dalam. Sebuah senyuman
terukir manis diwajahnya. “Aku menyukaimu.” bisiknya menenteramkan.
Lidahku kelu. Tanpa bisa berucap sepatah kata apapun.
“Kamu masih menganggapku sahabatkan?”
Aku menggeleng. “Gak! Kamu udah ninggalin aku. Mana mungkin
aku masih menganggapmu sahabatku.”
Farid sedikit terkejut mendengar perkataanku. “Bukan
keinginanku untuk pergi meninggalkan kamu.”
“Kamu bukan sahabatku lagi!” seruku tegas.
“Kenapa?!”
“Karena bagiku, kamu bukan hanya sekedar sahabat. Kamu adalah
jiwa, hati…dan soulmateku.” air mata mengalir deras membasahi pipiku.
Akhirnya, perasaan ini bisa kukatakan pada Farid. Perasaan yang selama ini
selalu kupendam. Bahkan, hampir kuhapus dari hatiku.
Aku menyeka air mata yang masih membasahi pipiku.
“Makasih, Lian.” gumam Farid bahagia.
Lalu kami menatap
lurus ke depan, sambil tertawa bersama.
Saling bertukar cerita tentang asa dan cita. Membiarkan kincir angin mungil itu
tertiup angin manja pantai Padang.
***